Jakarta, Gatra.com - Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan kembali mempertahankan Suku Bunga Acuan atau BI-rate tetap di level 6,25%. Hal tersebut mempertimbangkan ketidakpastian global dan domestik yang sedang berlangsung, meskipun indikator-indikator ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pelemahan.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, di dalam negeri, tingkat inflasi Indonesia cenderung terkendali karena peningkatan pasokan pangan setelah musim panen raya. Neraca perdagangan terus mencatat surplus, meskipun menyempit, sehingga mendorong berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan (CAD) meskipun masih dalam level yang terkendali.
“Faktor-faktor ini berkontribusi pada stabilitas ekonomi. Namun, risiko-risiko muncul dari meningkatnya ketidakpastian mengenai keberlanjutan fiskal, yang berasal dari perbedaan pendapat mengenai utang publik dan defisit fiskal,” kata Josua dalam keterangan resmi pada Selasa (16/7).
Menurut Josua, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya twin deficit, dengan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. Isu-isu tersebut memicu sentimen risk-off, yang berpotensi membatasi aliran modal masuk dan mempengaruhi stabilitas Rupiah.
Josua menjelaskan bahwa, secara global, indikator-indikator ekonomi AS baru-baru ini mengonfirmasi perlambatan ekonomi AS, dengan sektor manufaktur dan jasa yang mengalami kontraksi, disinflasi yang terus berlanjut, dan pasar tenaga kerja yang melemah. Namun, ketidakpastian global juga cenderung meningkat, terutama terkait dengan kondisi politik di Zona Euro dan AS.
“Perubahan kepemimpinan di Inggris dan Perancis telah membuat investor lebih berhati-hati karena mereka menilai kembali potensi dampak dari kebijakan ekonomi baru di pasar keuangan, terutama pasar obligasi,” jelasnya.
Selain itu, upaya penembakan terhadap Trump telah meningkatkan peluangnya untuk memenangkan pemilu AS yang akan datang, meningkatkan ketidakpastian pasar karena kemungkinan kebijakannya seperti kebijakan perdagangan yang restriktif dan pemotongan pajak yang diusulkan, yang dapat meningkatkan inflasi.
Secara keseluruhan, sentimen risk-off meningkat, dan permintaan terhadap aset-aset safe-haven menguat, membatasi pelemahan US Dollar Index di tengah melemahnya data ekonomi AS.
“Kami memperkirakan bahwa arah kebijakan moneter BI di masa depan terkait BI-rate akan sangat bergantung pada perkembangan kondisi ekonomi dan politik global, terutama di AS,” imbuhnya.
“Meskipun pasar saat ini mengantisipasi dua kali penurunan Fed Funds Rate (FFR) di tahun ini, mulai dari bulan September, kami tetap berpandangan bahwa the Fed hanya akan menurunkan FFR satu kali, yakni di kuartal IV-24,” jelasnya.
Menurutnya, Fed diperkirakan akan data dependent, dan juga mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas dari ekonomi AS, termasuk implikasi dari dinamika politik domestik di tengah pemilihan umum tahun ini. Ia menilai, peluang penurunan BI-rate akan muncul ketika the Fed memulai penurunan FFR.
“Oleh karena itu, kami tetap mengantisipasi bahwa BI akan mempertahankan BI-rate di level 6,25% hingga akhir 2024 dan ruang penurunan suku bunga BI diperkirakan akan lebih terbuka pada kuartal 1-25,” pungkasnya.