Jakarta, Gatra.com – Suara berat, bernada khas, riuh rendah, terdengar ketika gendang berukuran raksasa itu ditabuh. Itulah suara beduk yang terdengar di Masjid Istiqlal Jakarta saat Gatra.com berkunjung ke masjid tersebut pada Senin, 8 Juli 2024. Beduk tersebut menarik perhatian rombongan pelajar dari komunitas “Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali” (SabangMerauke) pada momen bada zuhur.
Mengenakan baju kaos putih bertuliskan “Karena toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan”, rombongan anak berjumlah puluhan orang itu mendekati beduk berbentuk silinder yang tertutup kulit hewan di kedua sisinya. Mereka turut memegang tongkat beduk yang berukuran panjang.
Rombongan anak dari SabangMerauke yang berkunjung ke Istiqlal siang itu didampingi oleh Ustaz Saparwadi, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) dan Protokoler Masjid Istiqlal. Saparwadi yang menjadi pendamping kegiatan komunitas SabangMerauke di Istiqlal menjelaskan setiap ornamen dan filosofis bangunan masjid bersejarah tersebut. Termasuk beduk di Istiqlal yang punya ukuran besar.
“Ini beduk terbesar di Istiqlal. Ukurannya kurang lebih dua meter dan terbuat dari kulit sapi,” ucap lelaki berkacamata itu kepada siswa yang hadir. Saparwadi menerangkan, beduk di Masjid Istiqlal tergolong khusus karena terbuat dari pohon kayu besar, yakni kayu asli Kalimantan yang diperoleh dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Diketahui beduk tersebut merupakan pemberian dari Presiden kedua RI, Soeharto kepada pengurus Masjid Istiqlal waktu itu. “Beduk ini dibuat tahun 1978 sebagai hadiah dari presiden untuk peresmian Masjid Istiqlal. Jadi, sekarang usianya sudah 46 tahun,” kata Saparwadi.
Masjid Istiqlal tidak hanya populer sebagai ikon Kota Jakarta, tetapi juga menjadi bukti dari toleransi keberagaman yang ada di Indonesia. Masjid ini menjadi magnet kunjungan 28 siswa yang tergabung dalam program “Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke” Juni-Juli 2024 yang digagas komunitas SabangMerauke bekerja sama dengan Indika Foundation. Dalam kunjungan tematik “Hari Bhinneka Tunggal Ika”, rombongan siswa ini mengunjungi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta seharian penuh pada 8 Juli 2024.
SabangMerauke sendiri merupakan program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia yang bertujuan menanamkan nilai-nilai toleransi, pendidikan, dan ke-Indonesiaan. SabangMerauke memberikan kesempatan kepada siswa-siswi SMP untuk live-in bersama keluarga angkat yang berbeda agama dan/atau etnis, serta membangun hubungan yang bermakna dengan sesama peserta selama program berlangsung.
Program program pertukaran pelajar antardaerah SabangMerauke melibatkan tiga kelompok partisipan. Yakni, Adik SabangMerauke (ASM) yang merupakan siswa SMP, Kakak SabangMerauke (KSM) yang merupakan mahasiswa, dan Famili SabangMerauke (FSM). Jumlah partisipan untuk ASM sebanyak 13 orang, KSM sejumlah 15 orang, dan FSM dengan 13 keluarga.
Project Lead Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024, Regita Savira Putri menyatakan, Indika Foundation sebagai salah satu donor organisasi SabangMerauke memiliki perhatian khusus pada dunia pendidikan untuk memajukan toleransi dan keberagaman. “Kami adalah foundation yang lahir karena resah melihat dan merasakan intoleransi. Keresahan itu bikin kami berkomitmen untuk membangun toleransi dan karakter bangsa lewat pendidikan perdamaian. Apalagi intoleransi masuk ke dalam tiga dosa besar pendidikan,” ujar Regita Savira Putri kepada Gatra.com.
Wanita yang karib disapa Egi itu menyatakan, untuk meng-counter sikap intoleransi, penggerak pendidikan perlu membangun ekosistem pendukung anak yang sehat dan aman. Karena itu, Indika Foundation bersama SabangMerauke meyakini bahwa kunci menuju Indonesia damai itu terletak di tangan anak dan orang muda. “Kita perlu mewariskan budaya dan nilai damai. Dimulai dari keluarga, sekolah, dan komunitas,” kata Egi.
Menurutnya, perdamaian tidak akan bisa tercipta tanpa diajarkan dan dibudayakan lewat pendidikan. Sebaliknya, pendidikan tanpa budaya dan nilai damai akan sulit memutus rantai kekerasan. “Soalnya, kebencian itu banyaknya diwariskan. Entah dari keluarga, sekolah, atau bahkan komunitas tempat anak-anak dan orang muda tumbuh besar,” papar Egi.
Ia meyakini program Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024 yang memasukkan muatan pembelajaran toleransi dan keberagaman akan menjadi virus yang positif bagi generasi muda. “Seperti kanvas, lingkungan sekitar anak ngasih warna buat pemikiran dan perilaku anak. For worse, or for the better,” ucap Egi.
**
Wakil Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) KH Dr. Mulawarman Hannase menyatakan kebanggaannya dapat menerima kunjungan dari Indika Foundation dan SabangMerauke. Dalam kesempatan itu, Mulawarman memberikan pemaparan kepada peserta sekaligus menerima sesi tanya jawab dari partisipan Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024.
Di hadapan para siswa dan mahasiswa program, Mulawarman menjelaskan panjang lebar terkait sejarah pembangunan Masjid Istiqlal. Ia menerangkan bahwa Masjid Istiqlal dibangun pada tahun 1961 oleh Presiden Sukarno dan diresmikan penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada 1978.
Di masjid terbesar di Asia Tenggara dan ketiga dunia ini terdapat banyak simbol-simbol yang berhubungan dengan nasionalisme. Misalnya ukuran kubah masjid yang memiliki diameter 45 meter dan jumlah tiang sebanyak 17. Hal tersebut memberikan makna tersendiri yang melambangkan tahun 1945, sebagai hari kemerdekaan sekaligus proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Jadi, di masjid ini banyak sekali simbol-simbol yang tidak hanya berkaitan dengan Islam tetapi juga nasionalisme di masa lalu,” ujar KH Mulawarman. Simbol toleransi dan inklusivitas juga terlihat dari pembangunan fisik Masjid Istiqlal yang rancangannya dibuat oleh arsitek dari Sumatra Utara, Friedrich Silaban, yang seorang penganut Kristen Protestan.
Manager Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) itu mengatakan, Masjid Istiqlal sudah lama menjadi benchmark toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Beberapa program yang dijalankan Masjid Istiqlal yang berkaitan dengan toleransi, yakni kamping lintas agama (interfaith camp). Di mana peserta dari siswa lintas agama (SMP dan SMA) menginap selama tiga hari unuk saling berinteraksi dan saling mengenal. Selanjutnya, selama tiga tahun terakhir, Istiqlal aktif mengadakan upacara bendera yang dihadiri perwakilan lintas agama.
“Kita juga ada kegiatan interfaith-walk atau jalan santai lintas agama yang diikuti oleh umat Katolik, Protestan, Hindu, Buddha hingga Konghucu,” kata Mulawarman. Terbaru, pihak Istiqlal menginisiasi dibangunnya Terowongan Silaturahmi yakni terowongan yang menjadi penghubung antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
“Negara kita mencoba memberikan pelajaran penting bagi masyarakat dengan simbol-simbol penting yang menunjukkan bahwa negara kita benar-benar toleran dan rukun. Terowongan silaturahmi tidak ada di manapun di muka bumi ini, baru ada di Jakarta, di Istiqlal,” ujar Mulawarman.
Selain itu, Istiqlal juga memiliki program unggulan yang dikenal sebagai Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang sudah berjalan empat tahun terakhir. Di masjid berkapasitas 200 ribu jemaah itu digelar workshop LKLB setahun sekali dengan durasi satu pekan bagi peserta yang terdiri dari guru-guru madrasah dan ulama PKU-MI.
“Dalam workshop LKLB, peserta diminta mengenal agamanya sendiri (kompetensi pribadi), mengenal saudaranya (kompetensi komparatif), dan berinteraksi dan bekerja sama dengan mereka yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif),” tuturnya.
Tak hanya itu, di Masjid Istiqlal seluruh umat dari lintas agama dapat menjalankan kursus bahasa Mandarin, Persia, Ibrani, Jepang, dan Belanda secara gratis. “Jadi, Istiqlal bukan hanya tempat ibadah tetapi juga pusat ilmu pengetahuan dan pengkajian lintas agama,” kata Mulawarman.
Mulawarman mengungkapkan apresiasinya terhadap program keberagaman dan toleransi yang digagas Indika Foundation dan SabangMerauke. “Kami sangat bangga dengan program ini karena tidak semua lembaga di dunia memiliki konsen terhadap masalah kerukunan dan toleransi. Kami sangat mendukung dan apresiasi program yang digagas Indika dengan Sabang Merauke,” ujar Mulawarman.
Menurutnya, program toleransi penting untuk dirawat dan dipupuk secara berkelanjutan. “Seperti yang disampaikan tadi bagaimana kita harus berpikir inklusif dan terbuka serta bagaimana membangun nilai-nilai kemanusiaan berbasis agama,” katanya.
Literasi keagamaan dan toleransi, lanjut Mulawarman, tepat diberikan semenjak dini yakni pada anak-anak yang duduk di bangku sekolah SD, SMP, hingga SMA. “Itu sangat penting karena di situlah masa-masa anak itu terbentuk wawasan, karakter, dan kepribadiannya. Bagaimana memahami saudara-saudara kita terlepas dari background agama yang berbeda-beda, membangun wawasan, perilaku, sejak dini cukup penting”.
Tidak hanya mendukung isu toleransi dan keberagaman, Istiqlal juga menaruh perhatian yang besar terhadap isu global seperti konservasi lingkungan. “Di Istiqlal kita sudah menggunakan panel surya, dan kita juga ada wakaf energi. Saya rasa perusahaan besar justru harus memiliki program yang seperti ini. Karena perusahaan itu punya resources, yakni sumber daya materi, kalau dia punya konsen maka akan lebih bagus lagi, terutama di bidang lingkungan,” pungkasnya.
**
Partisipan Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024 yang selesai melakukan kunjungan ke Masjid Istiqlal kemudian menyambangi Gereja Katedral di seberangnya dengan melewati Terowongan Silaturahmi.
Gereja Katedral Jakarta atau dikenal dengan Gereja Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga memiliki lokasi yang berdekatan dengan Masjid Istiqlal menandakan potret toleransi dan kebersamaan masyarakat Indonesia yang sudah terjalin sejak dahulu kala.
Gereja Katedral Katolik yang terletak di pusat Jakarta ini merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang dijaga dan dilestarikan. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan museum yang menjelaskan sejarah penyebaran ajaran Katolik di Jakarta.
Pastor Rekan Gereja Katedral Jakarta, Romo Yohanes Deodatus SJ mengatakan, Gereja Katedral merupakan gereja besar tempat kedudukan resmi uskup yang identik sebagai bangunan Tahta Uskup. Gereja dengan kapasitas 2.500 jemaah ini memiliki altar sebagai tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental.
“Umat Katolik beribadah menghadap ke altar dan Rumah Tuhan. Kursi diduduki uskup. Katedral sendiri berarti kursi atau kedudukan dari para uskup,” ucap Romo Yohanes Deodatus SJ atau karib disapa sebagai Romo Deo.
Romo Deo menyebut, keunikan atau kekhasan dari Gereja Katedral ini yakni relasi yang terbangun baik dengan Masjid Istiqlal atau komunitas muslim. “Kami membangun relasi yang baik dengan Istiqlal. Sering ada acara bersama dengan Istiqlal, dan juga di sini,” ucap Romo Deo.
Selain itu, sering ada kebijakan penggunaan areal parkir secara bersama baik oleh Masjid Istiqlal maupun Gereja Katedral pada saat event atau perayaan hari besar keagamaan. “Di hari raya besar Islam kita membebaskan lahan parkir dipakai oleh umat muslim yang beribadah di Istiqlal. Begitu juga, Istiqlal memberikan lahan parkir bagi jemaat kita saat perayaan Natal dan Paskah,” kata Romo Deo.
Menurutnya, keberadaan Terowongan Silaturahmi semakin merekatkan Katedral dengan Istiqlal dan pemeluk kedua agama. “Ini menunjukkan toleransi dan kebersamaan yang luar biasa antara Gereja Katedral dengan Istiqlal. Pada perayaan Idulfitri, Bapak Uskup juga sowan ke Istiqlal,” ujar Romo Deo.
Humas Keuskupan Agung Jakarta Susyana Suwadie mengatakan, sejarah Gereja Katedral Jakarta telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-18, yaitu saat misa mulai diselenggarakan di Jakarta untuk pertama kalinya. “Gereja diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja pada abad yang lalu,” kata Susyana.
Gereja Katedral terdiri dari altar utama berhiaskan relief dan patung ke-12 murid Yesus, altar Maria berhiaskan relief kehidupan Bunda Maria, dan altar Yoseph berhiaskan relief kehidupan Santo Yosep.
**
Andhika Saputra, Adik SabangMerauke (ASM) mengungkapkan pengalamannya mengikuti Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024. Termasuk mengunjungi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta. “Pengalaman pertama kami belajar nilai-nilai perdamaian di mana ada sebuah materi yang kami terima bahwa beda keyakinan tetap berteman. Di mana kami di sini ada agama Islam, Katolik, dan Protestan,” ucap Andhika kepada Gatra.com.
Menurutnya, toleransi adalah modal bagi generasi muda saat ini mengisi pembangunan Indonesia di masa depan. “Kalau kita tidak punya toleransi kita tidak bisa mewujudkan Indonesia Emas 2045. Kita diajarkan agar tidak boleh menghina SARA, dan tidak boleh menjuluki seseorang dengan sebutan apapun. Kita juga tidak boleh mem-bully agama melalui sosial media,” kata pelajar SMP YKP Pertamina Jambi itu.
Sementara itu, Kakak SabangMerauke (KSM) Shine Natasha Nauli Simanjuntak mengatakan, toleransi menjadi sesi yang menarik selama mengikuti program Pertukaran Pelajar Antardaerah Sabang Merauke 2024. “Pada saat kita bergabung menjadi satu, cara pikir kita, cara pandang kita juga berbeda. Satu hal yang saya pelajari adalah tidak baik kita saling merendahkan satu sama lain karena background dan cara pandang kita yang berbeda,” ujar Shine.
Menurutnya, masyarakat Indonesia terlahir majemuk dan punya pengalaman panjang menghargai perbedaan. Karena itu, sikap toleransi yang diwariskan leluhur harus tetap dijaga dan dirawat oleh generasi masa kini. “Bagi saya untuk belajar perbedaan itu enggak pernah ada habisnya dan enggak pernah berkesudahan. Itu akan terus berjalan seiring fase kehidupan,” ucap mahasiswi Universitas Padjadjaran itu.
Dirinya berharap pembekalan yang diberikan Indika Foundation dan SabangMerauke dapat bermanfaat dan diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. “Jadi, pada saat kita kembali ke tempat perkuliahan masing-masing kita akan ketemu dengan orang yang berbeda lagi dan peran kita sebagai sosok yang terdepan merawat toleransi adalah merangkul teman-teman kita yang berbeda,” pungkasnya.