Jakarta, Gatra.com – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), yang menyarankan pemberian bea masuk anti dumping (BMAD) bagi produk keramik porselen.
Rekomendasi ini didasarkan pada anggapan bahwa kebutuhan dalam negeri untuk produk tersebut belum mampu dipenuhi oleh produsen domestik dan akan berdampak pada harga jual yang ditanggung konsumen.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak kebijakan ini terhadap konsumen dan industri secara keseluruhan.
"Kami melihat ada ketidakseimbangan antara tujuan melindungi produsen dalam negeri dan kepentingan konsumen. Dengan pemberian BMAD, harga produk porselen di pasar domestik dapat meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan memberatkan konsumen," ujarnya dalam keterangan resmi pada Jumat (12/7).
Indef juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas dan kualitas produksi domestik sebagai solusi jangka panjang.
"Daripada menerapkan BMAD, sebaiknya pemerintah fokus pada upaya peningkatan daya saing produsen dalam negeri melalui berbagai program dan insentif," tambah Andry.
Indef juga mengingatkan adanya potensi ancaman impor ilegal sebagai akibat dari kebijakan BMAD ini.
"Dengan meningkatnya harga produk porselen di dalam negeri, ada kemungkinan besar akan terjadi peningkatan impor ilegal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini justru dapat merugikan industri domestik dan menyebabkan kerugian bagi negara," kata Andry.
Andry menyatakan bahwa pengajuan pemohon BMAD belum merepresentasikan keseluruhan produsen domestik karena hanya merepresentasikan 26% dari produksi ubin keramik secara nasional.
"Hal ini bertentangan dengan Perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut," tegas Andry.
Kesalahan juga terjadi ketika KADI mengeneralisir tipe keramik. Saat ini, kebutuhan akan keramik porselen masih belum bisa dipenuhi produsen dalam negeri, sementara produsen dalam negeri saat ini memiliki keunggulan dalam memproduksi keramik body merah.
"Penggeneralisiran ini menyesatkan dan dapat menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran," tambah Andry.
Andry menambahkan bahwa pemerintah sudah memberikan safeguard dan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kepada industri keramik. Manfaatnya sudah dirasakan, industri keramik telah mengalami ekspansi sejak 2021.
"Ada tambahan kapasitas baru di industri keramik sebesar 88 juta meter persegi, di mana 75 persennya sudah tercapai," jelas Andry.
Industri keramik Indonesia saat ini memiliki target penambahan jumlah ekspansi keramik sebesar 88 juta meter persegi hingga akhir tahun 2024, dari kapasitas total sebesar 625 juta meter persegi yang sudah ada. Artinya, pengenaan BMAD belum mendesak untuk diterapkan pada produk ini.
Direktur Kolaborasi Internasional Indef, Imaduddin Abdullah, juga menyoroti potensi bahaya retaliasi dari negara-negara yang terkena dampak kebijakan anti dumping ini, terutama dari China.
“Pemberian BMAD dapat memicu tindakan balasan (retaliasi) dari negara-negara eksportir yang terkena dampaknya, termasuk China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tindakan balasan ini bisa berupa pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar mereka," jelas Imaduddin.
Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat selama ini Indonesia dan China memiliki hubungan perdagangan yang kuat yang pada 2023, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 64,94 miliar, atau 23% dari total ekspor. Angka ini mencerminkan ketergantungan yang signifikan terhadap pasar China. Oleh karena itu, retaliasi dari China dapat berdampak serius pada industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.
Imaduddin menambahkan bahwa pengenaan BMAD yang tidak tepat sasaran dapat memunculkan praktik yang tidak sehat di dalam negeri. Salah satunya adalah adalah praktik monopoli dari industri yang menguasai pasar dalam negeri dan pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk di level konsumen domestik yang mengalami peningkatan.
"Hal ini tentu merugikan konsumen domestik dan menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat," tegasnya.
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, mengatakan bahwa KADI tidak menjabarkan proses perhitungan dari hasil secara transparan mengenai pengukuran dan pengenaan tarif BMAD secara ad valorem maupun secara spesifik.
"Kurangnya transparansi ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidakpastian di kalangan pelaku industri," kata Faisal.
Faisal juga mengkritisi analisis yang digunakan oleh KADI karena mencampurkan analisis antara ubin merah dengan porselen sehingga menyesatkan.
"Pendekatan ini mengaburkan perbedaan penting antara kedua produk tersebut dan berpotensi menghasilkan kebijakan yang salah," jelasnya.
Indef mendesak KADI untuk melakukan kajian lebih mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum merekomendasikan kebijakan yang berpotensi merugikan banyak pihak.
"Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh pemangku kepentingan, baik itu produsen maupun konsumen, serta menghindari dampak negatif seperti meningkatnya impor ilegal dan retaliasi perdagangan," kata Andry.