Home Hukum Keluarga Korban Kasus Rumah Kemang: Tangkap Buronan Halim dan Petugas PLN Gadungan!

Keluarga Korban Kasus Rumah Kemang: Tangkap Buronan Halim dan Petugas PLN Gadungan!

Jakarta, Gatra.com – Keluarga korban almarhum Drs. Djohan Effendi meminta Polres Metro Jakarta Selatan (Polrestro Jaksel) segera menangkap tersangka Halim, orang yang memerankan Djohan Effendi dalam proses penjualan tanah dan rumah yang berlokasi di Jalan Kemang V Nomor 12, Jaksel.

“Yang DPO itu [tersangka Halim] sampai sekarang belum ditangkap,” kata AKBP (P) Arlon Sitinjak, S.H., M.H., kuasa hukum dari pihak keluarga Drs. Djohan Effendi ditemui Gatra.com di rumah tersebut pada Kamis malam, (4/7).

Karena itu, lanjut Arlon, pihaknya terus berkoordinasi dengan Tim Penyidik Polrestro Jaksel agar mereka terus mencari dan mengejar tersangka Halim yang sampai saat ini masih buron.

“Mereka melakukan pengejaran tapi sampai sekarang mereka masih kehilangan jejak untuk menemukan DPO Halim termasuk Fauzi yang menyamar sebagai petugas PLN,” ujarnya.

Arlon menjelaskan awal kasus yang menimpa almarhum mantan diplomat Drs. Djohan Effendi. Sekitar tahun 2016, rumah miliknya yang berada di Jalan Kemang V Nomor 12, Jaksel, disewa seseorang bernama Husin Ali Muhammad. Setelah disewa, Husin kemudian meminta fotokopi sertifikat tanah dan rumah tersebut.

Husin berdalih hendak menurunkan daya listrik rumah yang disewanya karena terlalu besar. Dia memberitahu akan menurunkan dari 22 ribu Watt ke 6 ribu Watt. Djohan Effendi memberikan fotokopian.

Beberapa hari kemudian, Husin Ali Muhammad kembali menelepon Djohan Effendi. Dia menyampaikan bahwa persyaratan dari pihak PLN harus menyertakan seritifikat asli rumah dan tanah. Awalnya Djohan tidak percaya.

“Diyakinkanlah dengan mengatakan, ada kok Pak petugas PLN yang hadir. Jadi Bapak enggak usah khawatir. Datanglah ke sini,” kata Arlon menirukan perkataan Husin.

Djohan Effendi yang mengira Husin adalah orang baik karena sering mengadakan acara pengajian di rumah yang baru dikontraknya tersebut, kemudian mengantarkan dua sertikat asli rumah yang disewa Husin.

Setibanya di rumah di Jalan Kemang V Nomor 12, Jaksel itu, selain Husin juga ada seseorang bernama Fauzi yang disebut Husin sebagai petugas PLN. Fauzi menggunakan seragam PLN untuk meyakinkan Djohan Effendi. Dia juga mengaku sebagai petugas PLN.

“Disampaikan seperti itu. Djohan Effendi menunggu di teras dan saat itu sempat mengingatkan, hati-hati ini serifikat saya yang asli, supaya jangan disalahgunakan,” katanya.

Setelah menerima dua sertifikat asli, Husin ke dalam rumah sebentar dan menukar sertifikat asli dengan yang palsu yang telah dipersiapkannya. “Diserahkan yang palsu kepada Djohan Effendi,” kata Arlon.

Setelah menerima sertifikat, Djohan Effendi pun pulang. Setelah berada di rumah, perasaannya tidak enak, lalu mengecek sertifikat yang dikembalikan Husin. “Dilihat, lah kok ini ada kejanggalan,” katanya.

Sertifikat asli menggunakan ejaan lama di antaranya kata Djakarta, sedangkan di sertifikat baru ejaannya juga baru, yakni Jakarta. Untuk memastikannya, Djohan Effendi kemudian mengecek kedua setifikat tersebut di Kantor BPN Jaksel.

“Tolong cek sertifikat saya, ada keraguan, karena kemarin dipinjam oleh yang menyewa rumah saya,” kata Arlon menirukan permintaan korban.

Setelah dicek, petugas BPN Jaksel menyatakan pihaknya tidak pernah menerbitkan kedua sertifikat tersebut. Kedua sertifikat ini pun lantas dibubuhi atau dicap palsu. Djohan Effendi pun memblokir dua sertifikat asli yang dikuasai pihak Husin agar tidak disalahgunakan. Pemblokiran dilakukan di Kantor BPN Jaksel sesuai prosedur yang berlaku.

“Lalu disampaikan [dari BPN Jaksel] pemberitahuan blokir terhadap 2 sertifikat karena tanah di Kemang V Nomor 12 itu ada dua sertifikat,” katanya.

Setelah itu, Djohan Effendi menghubungi Husin dan meminta 2 sertikat asli segera dikembalikan. Husin berjanji akan segera mengembalikan namun saat itu dia berdalih sertifikatnya masih dipegang oleh temannya.

Beberapa kali Djohan Effendi meminta Husin mengembalikan sertifikat asli. Namun Husin Ali Muhammad tidak pernah menyerahkan. Karena tidak mempunyai itikad baik untuk mengembalikan, Djohan Effendi akhirnya melaporkan kasus ini ke Polrestro Jaksel pada 6 Februari 2017.

“Diproses penyidik dan tetapkan tersangka. Pada tanggal 18 Desember 2018 disidang perkara itu dengan tersangka Husin Ali Muhammad di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” katanya.

Akhirnya, majelis hakim PN Jaksel memvonis Husin Ali Muhammad bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni memberikan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan menggunakan surat-surat palsu. Dia dihukum 4 tahun penjara.

Kuasa hukum keluarga Djohan Effendi, AKBP (P) Arlon Sitinjak, S.H., M.H., .mengatakan, pihaknya mendesak agar tersangka Santoso Halim dan dua notaris segera diseret ke meja hijau terkait kasus penjualan rumah di Kemang. (GATRA/Iwan Sutiawan)

“Putusan perkara No. 1073 tanggal 18 Desember 2018, divonis bersalah melanggar Pasal 266 dan 263 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP karena ada pernyertaan,” katanya.

Husin Ali Muhammad sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun putusan dua pengadilan tersebut menguatkan putusan PN Jaksel.

“Putusannya inkracht. Husin Ali Muhammad dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan. Dia kini sudah meninggal dunia,” katanya.

Cara Husin Ali Muhammad dkk Jual Tanah dan Rumah Kemang

Alron menjelaskan, Husin Ali Muhammad dan komplotannya bisa menjual tanah dan rumah milik Djohan Effendi dengan cara menjadikan Halim sebagai Djohan Effendi. Halim menggunakan KTP palsu untuk menutupi ulah itu.

“Dalam persidangan [Husin Ali Muhammad] itu bahwa jual-beli yang dilakukan oleh Djohan Effendi figur yakni Halim yang DPO tadi, dijual dalam akta pengikatan jual-beli. Jual-beli di hadapan notaris, dijual ke saudara Ir. Santoso Halim di hadapan notaris Lusi,” katanya.

Adapun harga rumah dan tanah di Jalan Kemang V Nomor 12 itu Rp12 milir tapi yang dibayar hanya Rp8 miliar. Anehnya, uang penjualan tanah dan bangunan tersebut tidak dibayarkan ke Djohan Effendi figur [palsu] sebagai pihak penjual, tapi dibayar ke Husin Ali Muhammad melalui rekening BCA,” katanya.

Menurut Arlon, fakta tersebut dibernarkan oleh Ir. Santoso Halim dan notaris Lusi dan Vivi ketika bersaksi di persidangan perkara terdakwa Husin Ali Muhammad di PN Jaksel.

“Pembayaran tadi kalau sesuai aturan undang-undang jual beli, si pembeli membayar ke penjual. Tapi tidak dilakukan seperti itu, tapi bayar ke Husin Ali Muhammad,” katanya.

Petugas PLN Gadungan Harus Ditangkap

Arlon menyampaikan, Fauzi yang mengaku sebagai petugas PLN dan menggunakan seragam perusahaan setroom pelat merah juga harus ditangkap dan diadili.

“Petugas PLN [gadungan] itu DPO juga, dalam hukum itu membantu. Pura-pura menjadi petugas PLN sehingga meyakinkan. Itu orang biasa yang mengaku petugas, itu palsu,” katanya.

Arlon mengungkapkan, pihaknya terus memita penyidik Polrestro Jaksel untuk menangkap buronan tersangka Halim. Namun hingga sekitar 8 tahun berlalu belum juga ditangkap.

“Mereka [penyidik] masih kehilangan jejak untuk menemukan DPO Halim termasuk Fauzi yang menyamar petugas PLN,” katanya.

Ada Peran BPN dalam Penjualan Rumah Kemang?

Penjualan rumah dan tanah milik almarhum Djohan Effendi oleh komplotan Husin Ali Muhammad diduga tidak terlepas dari ketidakprofesionalan atau kelalaian atau kesengajaan pihak BPN Jaksel.

Pasalnya, lanjut Arlon, Djohan Effendi telah memblokir kedua sertifikat asli rumah dan tanah yang dikuasi oleh Husin Ali Muhammad. Namun pemblokiran tersebut tiba-tiba bisa dibuka diduga keras oleh pihak Husin Ali Muhammad.

“Kalau dari rangkaian semua itu tadi, menurut saya minimal ada kealfaan atau kurang profesional rekan-rekan petugas BPN Jaksel dalam melakukan pencabutan blokir terhadap sertifikat atas nama Djohan Effendi,” ujarnya.

Arlon mensinyalir demikian karena berdasarkan Permen ATR/BPN No 13 Tahun 2017, khususnya Pasal 18 Ayat 3, disebutkan: Penghapusan catatan blokir diberitahukan secara terulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.

“Pada saat klien kami melakukan pemblokir itu, beliau diberikan pemberitahuan pemblokiran,” ujarnya.

Lebih lanjut Arlon mengungkapkan, ini berbeda ketika BPN hendak mencabut blokir yang diduga keras diajukan oleh pihak Husin Ali Muhammad. BPN Jaksel tidak memberikan pemberitahuan mau membuka blokir.

“Tidak pernah disampaikan tertulis atau lisan. Jadi sesuai aturan Menteri ATR/BPN tentang Blokir dan Sita, mestinya itu disampaikan secara tertulis tapi itu tidak dilakukan BPN Jaksel,” ucapnya.

142