Jakarta, Gatra.com – Para pelaku budaya mengharapkan pemerintahan Prabowo-Gibran tidak memotong atau mengurangi apalagi menghapus Dana Indonesiana yang dikhususkan bagi para pegiat budaya baik individu maupun kelompok melalui Dana Abadi Kebudayaan.
“Takut sih mikirin itu [kalau misalnya Dana Indonesiana dikurangi atau dihapus], mulas,” kata Ratri Anindyajati, Direktur Indonesian Dance Festival (IDF) baru-baru ini di Jakarta.
Ratri menyampaikan, keberlanjutan adalah aspek strategis yang harus dilakukan bersama dengan pelaksanaan kebijakan kebudayaan. Menurutnya, jika ada suatu lembaga yang menjalankan kebijakan kebudayaan tidak kuat, maka strategi kebudayaan tidak akan berjalan dengan baik.
"Kebijakan yang selama ini dihadirkan sudah sangat baik dan ini menjadi stepping stone bersama-sama. Sayang jika tidak dilanjutkan. Tentu kami sebagai IDF akan mengalami kemunduran,” kata Ratri.
Dia menyebut salah satu kebijakan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan saat ini yang paling signifikan adalah Dana Indonesiana. Menurutnya, dana ini sangat krusial untuk pengembangan kebudayaan dan mencapai rekam jejak internasional.
“Secara struktural, saya berharap dukungan Dana Indonesiana terus ada agar IDF dan pelaku seni dan budaya lain dapat menjalankan usahanya dengan baik. Semoga pemajuan kebudayaan terus berjalan,” ujarnya.
Karena itu, Ratri mengaku takut kalau sampai sampai Dana Indonesiana dipotong apalagi dihapus. Itu akan kembali sekitar 5 atau 7 tahun ke belakang, yakni tidak ada batuan bagi pelaku budaya. “Enggak ada dukungan infrastruktur,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan adanya Dana Indonesiana, IDF bisa merencanakan agenda kebudayaan misalnya festival internasional sekitar 1,5 tahun karena sudah mempunyai anggaran.
“Festival internasional mengundang para seniman dari mancanegara, itu kan enggak bisa diundang H-4/5 bulan,” katanya.
Ratri menyampaikan, pemerintah mendatang tugasnya memperbaiki hal-hal yang kurang untuk memajukan sektor kebudayaan, salah satunya meningkatan pendanaan. “Yang penting sekarang menyempurnakan infrastruktur itu supaya lebih baik lagi bukan kemudian disetop,” katanya.
Ratri lantas mencontohkan negara-negara yang sektor kebudayaanya telah maju karena pemerintahnya sangat mendukung budaya dan seni sehingga bisa dikenal di dunia. Dukungan itu di antaranya ketersediaan dana.
“Negara-negara yang sektor kebudayaannya maju itu memang seni dan budaya pasti didukung paling besar stakeholder-nya pemerintah. Itu kita enggak usah re-invent to will lagi, itu di mana-mana seperti itu,” katanya.
“Kenapa Korea bisa punya K-pop itu juga karena policy kebudayaan yang menentukan itu dan mereka menaruh investasi besar-besaran untuk membangun sehingga K-pop mendunia. Jadi ya itu sih yang paling penting, ini kita sudah jalan ke arah ada titik terangnya dan semoga pemerintah yang selanjutnya melanjutkan bukan memberhentikan,” kata Ratri.
Rani Jambak, musisi kontemporer, juga menekankan pentingnya keberlanjutan dukungan bagi riset dan produksi seni yang memerlukan biaya besar. Menurutnya, efisiensi akan tercapai jika dukungan tetap berjalan, terutama dalam membangun ekosistem kebudayaan yang memerlukan kontribusi dari berbagai lini.
“Kalau dana dihentikan dana Indonesiana ini mungkin bakal terjadi patah hati nasional buat para pekerja budaya dan seni,” katanya.
Rani menyampaikan, akan terjadi patah hati nasional karena seniman-seniman di daerahnya juga belum semuanya mengetahui bahwa kegiatan kebudayaan mereka bisa di-support pemerintah melalui Dana Indonesiana. Butuh waktu untuk menyosialisasikannya.
“Oh ternyata ada ya, bisa ya di-support pemerintah. Itu saja butuh waktu. Ketika semangat itu sudah muncul dan tiba-tiba disetop, kalau aku ngebayanginnya bukan hanya perkara [budaya Indonesia] yang tertidur tadi, tapi perkara regenerasi kebudayaan akan berat juga. Jadi bukan hanya tertidur tapi melebihi status tidur karena regenerasi itu terputus untuk memperkuat bangsa kita melalui kebudayaan,” ucapnya.
Secara pribadi, Rani mengaku sedih jika kerja-kerja kebudayaan ini malah di-support oleh negara lain dan menjadikan ilmu pengetahuan tentang budaya ini sebagai milik negara pemberi dana.
“Harusnya menjadi ilmu penetahuan untuk kita, untuk generasi kita yang akan datang. Jadi ya bisa saja kita berjalan karena mencari dana dari luar itu mungkin saja, tapi sumber atau support utama dari keluarga sendiri itu sangat menyakitkan, paling menyedihkan kalau menurut saya,” ujarnya.