Jakarta, Gatra.com - Konsumen Toyota Elnard Peter terus mencari keadilan pasca gugatannya ditolak di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kini Peter menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA) yang didaftarkan pada Senin (28/5/2024) lalu.
Peter mengajukan kasasi dengan termohon PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (Tergugat I), PT Toyota Astra Motor (Tergugat II), dan PT Astra International (Tergugat III). Ketiga termohon pun telah menyerahkan kontra memori kasasi pada Rabu (12/6/2024).
"Para Tergugat yang saat ini menjadi para Termohon Kasasi telah menyerahkan kontra memori kasasinya tertanggal 12 Juni 2024 melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan mengajukan keberatan-keberatan di dalam kontra memori kasasi," ujar Peter kepada wartawan, Selasa (25/6/2024).
Menurut Peter, keberatan pertama para Termohon kasasi bahwa upaya kasasi pemohon tidak dibenarkan berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang (UU) Mahkamah Agung.
"Padahal di dalam perkembangannya, pemeriksaan Kasasi tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum saja tetapi juga mengadili fakta yang telah diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding (Judex Factie). Hal tersebut dapat dilihat pada sejumlah putusan kasasi yang menjatuhkan hukuman/putusan lebih berat," katanya.
Lanjut Peter, keberatan kedua para Termohon yaitu menolak argumen Pemohon kasasi terkait tidak diterapkannya asas "audi et alteram partem" dalam pemeriksaan perkara tersebut. Pasalnya, Majelis Hakim dianggap telah mempelajari berkas perkara secara komprehensif dengan membaca secara seksama dan detail seluruh dokumen sekalipun bukti-bukti surat otentik Repair Manual produk sudah disertakan dalam Akta Bukti Penggugat tetapi tidak pernah diperiksa dalam persidangan.
Kemudian kata Peter, keberatan ketiga para Termohon kasasi dengan argumen terkait tidak diterapkannya ketentuan Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini, beban pembuktian terbalik dalam sengketa konsumen yang membebankan kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan pada produk dibebankan kepada pelaku usaha, bukan Konsumen.
"Para Termohon kasasi menyatakan bahwa tidak masuk akal dan tidak adil jika konsumen mengajukan gugatan kemudian pelaku usaha harus membuktikan seluruh klaim dari konsumen termasuk kerugian yang diklaim konsumen. Para Termohon kasasi tetap bersikeras Pemohon Kasasi wajib melakukan pembuktian karena bukti-buktinya telah dibantah oleh Para Termohon Kasasi," bebernya.
Peter menegaskan, selama persidangan pembuktian di tingkat pertama Pemohon Kasasi telah mengajukan bukti-bukti yang membuktikan dasar klaimnya beserta dengan rincian kerugiannya. Namun bukti-bukti yang diajukan tidak pernah diperiksa oleh majelis hakim sepanjang persidangan Judex Factie tingkat pertama, apalagi jelas ada tiga lembar bukti pemeriksaan produk yang memuat kondisi dari Mutu produk yang dilakukan di bengkel Agen Pemegang Merk Toyota sesuai Kekayaan Intelektual dari Pencipta Produk dan Pemilik Merk Toyota.
Kemudian kata Peter, putusan Judex Factie tingkat kedua terbit hanya dalam sembilan hari sehingga pada proses Judex Factie Pelaku Usaha (para Termohon Kasasi) tidak pernah membuktian Mutu atau Kualitas produk berdasarkan prosedur baku pemeriksaan yang mengandung kekayaan intelektual (proprietary right) milik Pencipta Produk dan Pemilik Merk yang ditetapkan oleh Toyota Motor Corporation dalam Repair Manual produk, maka sekarang kami menempuh upaya Kasasi.
"Ada manipulasi dengan tafsir sesat dan menyesatkan para Termohon kasasi perihal Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen tentang beban pembuktian terbalik, semestinya mengajukan keberatan hal ini di forum dan acara yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan digunakan sebagai dalil untuk melepaskan tanggung jawab hukum sesuai kedudukannya sebagai Pelaku Usaha dalam gugatan ini apalagi di tingkat Kasasi," jelasnya.
Peter kembali menekankan bahwa cacat tersembunyi dalam gugatan ini sudah cukup jelas diterangkan dalam Surat Gugatan dan Alat Bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi yaitu Repair Manual produk bahwa suku cadang Lower Arm dan/atau Upper Arm pada susunan suspensi depan yang gagal berprestasi membentuk Sudut SAI (Steering Axis Inclination) sesuai Baku Mutu produknya dimana suku cadang tersebut juga digunakan pada lebih 600.000 unit Toyota Innova tahun produksi 2011 hingga sekarang.
"Ada ketidaknyamanan pada kemudi karena tidak mampu mempertahankan kelurusannya pada kecepatan tinggi ataupun kemudi yang sulit kembali lurus ke tengah setelah berbelok pada kecepatan rendah," tegasnya.
Diketahui, ini merupakan gugatan konsumen kedua di PN Jakarta Selatan. Majelis Hakim pun tidak menerapkan pembalikan beban pembuktiannya sesuai UU Perlindungan Konsumen sebagaimana juga yang dialami oleh konsumen bernama Takasu Masaharu saat bersengketa dengan PT Coca Cola pada tahun 2005. Kala itu, penggugat sakit setelah konsumsi produk minuman yang diduga tercemar. "Gugatan Takasu Masaharu bahkan juga ditolak oleh pengadilan tanpa ada pembuktian terbalik," tukasnya.
Sementara pakar hukum perlindungan konsumen dari Universitas Indonesia (UI), Inosentius Samsul menegaskan bahwa, pembuktian dalam sengketa perlindungan konsumen tidak boleh mengesampingkan hak kekayaan intelektual dari pencipta produk atau pemilik merk.
Inosentius menyoroti putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang hanya mempertimbangkan keterangan saksi ahli otomotif yang dihadirkan oleh pihak para termohon saat memenuhi beban pembuktian terbalik dalam sengketa dengan konsumennya, Elnard Peter.
Inosentius menegaskan, kehadiran ahli dalam persidangan hanya bicara dari aspek konsep secara teoritis keilmuan. Sementara bicara tentang hak paten atas suku cadang adalah kuasa pemegang hak paten itu sendiri.
"Kalau sudah bicara tentang hak paten atau proses, maka yang seharusnya menjelaskan hal itu adalah pemegang paten itu sendiri. Dan memang harus diperiksa dan diuji produknya," ujar Inosentius.
Menurut Inosentius, kapasitas ahli dalam persidangan memberikan konsep-konsep umum tentang suatu hal. Tetapi kalau sudah masuk ke wilayah yang spesifik maka harus dijelaskan oleh orang ahli dalam bidangnya dan menguji mutu produknya.
"Kalau sudah bicara dengan persoalan paten, yang paham tentang paten, know how suatu teknologi itu pembuat paten, ya pemegang paten itu sendiri yang membuat paten atas suku cadang dan dia harus menjelaskan apa kekhususannya dari teknologi atau paten yang didaftarkan itu," tegasnya.
Dia pun mengingatkan kepada pengadilan supaya tidak boleh mengabaikan hal tersebut dalam sengketa perlindungan konsumen. Hal tersebut kata dia merupakan suatu keharusan.
"Jadi tidak bisa mengabaikan kondisi objektif produknya. Yang harus dilihat ya produk itu sendiri. Karena itu bukti. Sesuatu itu cacat dilihat dari kondisi barangnya dengan menguji kualitas produknya. Dan itu yang membuktikan, bukan pendapat dari ahli melainkan diperiksa dan diuji apakah Mutu produk sudah sesuai dengan Baku Mutunya," tambahnya.
Dia menambahkan, hak paten pada dasarnya melekat pada produk itu sendiri. Sehingga Majelis Hakim yang tidak memeriksa bukti surat otentik dalam sengketa tersebut bagian dari peradilan sesat.
"Itu peradilan yang sesat. Proses yang tidak cukup. Kalau di pidana, dia tidak melakukan tindak pidana, tetapi malah disebut melakukan tindak pidana. Nah, dalam perdata pun demikian. Menurut saya itu peradilan sesat.
Dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus itu lemah. Karena tidak didukung dengan alat bukti pemeriksaan yang kuat. Itu berbahaya," tukasnya.