Home Liputan Haji Ya Allah, Ternyata Kami Shalat di 'Ranjang' Tidur Rasulullah!

Ya Allah, Ternyata Kami Shalat di 'Ranjang' Tidur Rasulullah!

Makkah, Gatra.com- Gua Hira yang berbentuk seperti mihrab yang menghadap Masjidil Haram, orang bisa shalat di sajadah yang disediakan. Namun untuk shalat di sajadah itu, butuh antrean yang panjang. Karena itu GATRA mengalah memilih shalat di atas batu rata di samping sajadah itu sambil duduk. Tidak dinyana, ternyata batu itu adalah tempat tidur Rasulullah ketika muraqabah (merenung) dan tahannuth (menyendiri) di gua Hira. Ya Allah, ternyata kami shalat di tempat tidur Rasulullah!

Memang pendakian kami ke Gua Hira waktu itu berhampiran dengan waktu subuh. Azan Subuh dari Masjidil Haram sayup terdengar ketika kami mengancik puncak Jabal Nur, 7/6.  Ada sebidang ruang datar dengan bentang sajadah yang cukup untuk shalat berjamaah sepuluh orang. Kami tim Media Center Haji (MCH) Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) segera menggelar shalat berjamaah di ketinggian 640 meter di atas permukaan laut.

Panasnya kota Makkah membuat tim MCH memutuskan untuk mendaki Jabal Nur pada dini hari. Kami melengkapi diri dengan lampu senter dan air minum yang cukup. Butuh waktu 1 jam lebih dari pos 1 ke puncak gunung cahaya.

Butuh fisik yang prima dan mental yang kuat untuk mencapai puncak Jabal Nur. Ada 1.420 anak tangga yang harus dinaiki, ada juga yang mengatakan 1750. Kemiringan sekitar 60o  membuat pendakian tidak mudah. Memandang ke puncak Jabal Nur, hanya kerlip lampu senter pendaki yang terlihat. Itulah tujuan kami.

Beberapa pengunjung lansia bertongkat, bersimbah peluh, tetap bersemangat naik. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan pendakian. Dari puncak Jabal Nur, Gua Hira sudah terlihat. Harus turun dulu meniti tangga batu sekitar 20 meter.

Dari puncak Jabal Nur itu terlihat orang-orang berebut untuk salat di dalam gua. Setelah menuruni anak tangga, ada dua pilihan jalan menuju gua. Naik ke atas gua lebih dulu atau menyelip di antara celah batu yang hanya cukup untuk satu orang dewasa.

Banyak yang memilih melewati celah batu karena lebih landai. Di dalam celah batu itu ada dua cabang jalan lagi. Lewat celah yang lebih sempit atau naik ke atas batu setinggi 1 meter. Yang punya perut besar lebih memilih menaiki batu. Pintu besar ini lebih sering dilewati terlihat dari permukaan batu yang licin dan mengilap.

Setelah berhasil melewati celah batu itu, sampailah kita di mulut gua. Ada ruang terbuka yang cukup untuk 15 orang. Dari ruang terbuka ini kita bisa melihat menara Masjidilharam yang berjarak 4 kilometer. Juga bisa melihat jam Makkah. Seluruh penjuru mata angin kota Makkah bisa kita lihat dari sini. Di utara ruang terbuka itu terdapat ceruk sedalam sekitar 4 meter lebar 1,5 meter. Ceruk itu menjadi semacam mihrab yang tepat menghadap ke Masjidilharam.

Itulah gua Hira tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu untuk pertama kalinya. Di dalam ceruk kecil itu ada sajadah membentang. Milik Abdurrahman, orang Pakistan yang berada di sana. Ia meminjamkan sajadah untuk orang yang akan salat di dalam gua. Sambil mengatur antrean. Tentu dengan harapan orang-orang yang memakai sajadahnya memberinya tips.

Dia juga menyediakan sajadah untuk jemaah yang shalat di ruang terbuka. Sejadah digelar di atas batu rata. Di samping sajadah di dalam 'mihrab' ada batu rata yang bisa digunakan juga untuk salat sambil duduk. Itulah ranjang tidur Rasulullah selama di Gua Hira.  "Cepat, cepat!" kata Abdurrahman memukul-mukulkan botol plastik air kemasan ke batu. Karena yang mengantre bukan hanya orang Indonesia saja, tentunya mereka tidak paham yang dikatakan Abdurrahman.

Usai salat di Gua Hira, jamaah menciumi baru hitam prismatik yang menjadi dinding ceruk. Batu hitam itu pun nampak mengkilat. Batu-batu hitam berbilah ramping berbentuk berlian pada penampang melintang itu memang saksi bisu ketika Nabi SAW menerima wahyu.

Peristiwa itu terjadi di malam Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan). Yaitu pada Senin malam 21 Ramadan atau 10 Agustus 610 M. Pada saat itu Nabi Muhammad berusia 40 tahun, 6 bulan dan 12 hari untuk penanggalan Hijriah. Atau 39 tahun, 3 bulan dan 22 hari untuk penanggalan Masehi.

"Bacalah!" dan cahaya firman pun berpendar ke seluruh semesta. Hira berarti berlian. Dia bertengger di puncak Jabal Nur (Gunung Cahaya). "Permata yang memancarkan cahaya wahyu Alquran terhadap semesta alam sepanjang zaman," kata Aswadi Syuhadak, guru besar Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya yang menjadi pembimbing ibadah jamaah haji Indonesia.

Turun dari Gua Hira terasa lebih cepat. Hanya perlu waktu 30-45 menit. Kalau dilihat dari smart watch, jarak dari pos 1 ke Gua Hira sekitar 2,5 km. Puncaknya berbentuk seperti punuk unta itu tingginya 200 meter. Setelah selesai mengunjungi Gua Hira, pengunjung bisa beristirahat di kafe-kafe yang ada di area Taman Gua Gira. Ada berbagai jenis makanan termasuk Bakso Onta yang cukup laris. Ada juga toko-toko souvenir di kompleks taman tersebut.

Bagi yang ingin ke Gua Hira, disarankan berangkat dini hari. Jangan lupa lampu senter dan membawa bekal air minum yang cukup. "Tidak terbayang perjuangan Nabi SAW ke Gua Hira. Saya sampai bersimbah peluh. Harus beristirahat beberapa kali," kata Heri, jamaah haji asal Riau.

223