Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa penguasa atau pemerintah Indonesia saat ini menjadikan hukum sebagai senjata politik.
"Diam-diam mereka menggunakan otoritas sebagai lembaga tinggi negara untuk membuat hukum yang mendefinisikan kepentingan para elit penguasa," katanya dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (19/6).
Ia mempertanyakan, putusan-putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konsitusi dan Mahkamah Agung belakangan ini yang banyak menuai kontroversi.
Menurutnya, dalam teori hukum memang ada aliran yang bisa disalahgunakan. Jika dilakukan, ekskstensi dan substansi hukum itu sendiri akan kabur atau bahkan hilang.
"Apakah substansinya adil? Tidak adil? Itu tidak dipentingkan. Itu sebabnya Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan melanggar etika berat tidak bisa digugurkan," tegasnya.
Di dalam filsafat hukum, lanjutnya, terdapat teori yang dinamakan Critical Legal Studies (studi hukum kritis). Teori ini menyatakan bahwa bahwa hukum diciptakan untuk mendefinisikan kepentingan kekuasaan.
"Bagaimana cara bekerjanya? Sekelompok elit penguasa yang jumlahnya kecil melakukan represi terhadap mayoritas orang yang tidak memiliki kekuasaan," jelas Sulistyowati.
Ia memberi contoh, di masa demisioner DPR RI saat ini, banyak undang-undang yang direvisi. Bahkan, revisi-revisi yang dilakukan DPR RI saat ini berpotensi melemahkan demokrasi dan hak-hak dasar warga negara Indonesia.
"DPR diam-diam atau ketahuan sedikit melakukan revisi bermacam-macam undang-undang. Undang-undang Penyiaran, Undang-undang TNI, Undang-undang Polri, Undang-undang Kementerian Negara, dan lain-lain," ucapnya.
Dengan begitu, lanjutnya, Indonesia bisa saja berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Pasalnya, tiga unsur negara hukum yang wajib ada, perlahan-lahan mulai hilang.
"Pertama adalah unsur prosedural formal, intinya di situ adalah demokrasi. Membuat hukum itu harus tertulis dan bisa dimengerti oleh semua warga negara, serta prosedurnya harus melibatkan partisipasi publik yang luas. Apakah itu semua terjadi? Tidak," katanya.
Unsur kedua, yakni substansi hukum. Hak-hak asasi dari individu dan kelompok sosial, serta hak memiliki properti harus ada di dalam hukum yang dibuat.
"Apakah Undang-undang yang ada saat ini, seperti UU Cipta Kerja yang dipersoalkan oleh teman-teman aktivis sekarang itu hak asasi manusianya terjaga?" ia mempertanyakan.
Ketiga, unsur mekanisme kontrol. Pemisahan kekusaan harus diawasi oleh lembaga peradilan independen.
"Kita sudah lihat bahwa pengadilan kita sudah tidak independen. Kita mau lari kemana kalau MK dan MA sudah membuat putusan semacam itu?" ucapnya.
"Jadi yang terjadi sebenarnya adalah pembusukan hukum. Seolah-olah tampak sah, karena hukum itu dibuat oleh mereka yang punya otoritas. Tetapi tidak, sama sekali tidak," tegas Sulistyowati.