Home Ekonomi Diskusi Kelompencapir: Peraturan terkait Pembiayaan Syariah Harus Diharmonisasi

Diskusi Kelompencapir: Peraturan terkait Pembiayaan Syariah Harus Diharmonisasi

Jakarta, Gatra.com – Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum), Cahyo Rahadian, S.H, LLM., menyampaikan, sejumlah regulasi terkait Pembiayaan Syariah harus diharmonisasi dan disinkronkan.

“Perlu didorong adanya harmonisasi dan sinkronisasi antarregulasi dan harus dipecahkan bersama-sama,” kata Constantinus Kristomo mewakili Dirjen AHU.

Dalam diskusi bertajuk “Penerapan Prinsip Syariah pada Perjanjian Pembiayaan dalam Rangka Standarisasi Akta” ini, dia menjelaskan, perlu harmonisasi dan sinkronisasi karena banyak regulasi yang bertentangan.

“Dalam praktik, banyak regulasi yang simpang siur, membuat para praktisi di perbankan syariah seperti halnya notaris, terjepit di tengah-tengah,” ujarnya.

Di sisi lain, kata dia, notaris dalam menjalankan tugasnya di bidang keuangan berbasis syariah, harus memberikan kepastian hukum. Notaris perlu mencermati dan mampu memberikan pendapat hukum serta pemahaman kepada para pihak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dalam mewujudkan kepastian dan rasa aman bagi para pihak maupun notaris. 

Ia menyarankan untuk dibuat kertas kerja untuk penyesuaian dan penyelarasan konsep dalam standardisasi akad-akad syariah sebagai kontribusi kepada masyarakat.

Menurut Cahyo, kunci sukses negara-negara di dunia dalam mengembangkan potensi keuangan ini adalah adanya kepastian hukum bagi investor.

Sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia (persentase 87,1%) dari total jumlah penduduk Indonesia, perbankan dan lembaga keuangan Syariah merupakan salah satu pilar terpenting dalam menunjang ekonomi bangsa Indonesia.

Founder Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca dan Pemikir (Kelompencapir), Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, dalam keterangan pers, Jumat (14/6), menyampaikan, pihaknya menyelenggarakan diskusi bertajuk di atas sebagai bentuk keprihatinan.

Pasalnya, lanjut perempuan yang karib disapa Teh Dete ini, terdapat praktik pembiayaan syariah pembiayaan syariah yang belum menerapkan prinsip syariah. Padahal, masyarakat yang memilih transaksi syariah berharap pilihannya adalah sesuai dengan syariat agama Islam.

“Maka tidak heran apabila demi mengejar suatu pencapaian perbankan menerapkan transaksi syariah masih berupa gimmick saja, belum sampai ke esensi dari syariah itu sendiri,” ujarnya.

Teh Dete menjelaskan, diskusi Kelompencapir seri ke-53 yang digelar di Jakarta ini, pihaknya juga menghadiran sejumlah narasumber lainnya, di antaranya Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan & Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dr. Dian Ediana Rae, S.H., LLM.

Selanjutnya, Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK, Nyimas Rohmah; Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr. Widyaningsih, S.H, M.H.; Dewan Syariah Nasional, AH Azharuddin Lathif, M.AG, M.H., dan Endang Setyowati, S.H.,M.H., partner di AZP Legal Consultant. Diskusi dipandu oleh moderator Fessy Alwi dan pembaca kesimpulan Levi Valerina.

Dalam diskusi tersebut, Azharuddin Lathif menyoroti isu-isu yang terkait harmonisasi perundang-undangan, di antaranya adalah Perundang-Undangan tentang Pengikatan Jaminan, Perundang-Undangan tentang Perpajakan, Perundang-Undangan tentang Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

“Jika menggunakan UU tentang Lembaga Keuangan, transaksi syariah bisa terkena pajak berkali-kali, karena itu diperlukan adanya harmonisasi,” ujarnya.

Ia mengidentifikasi adanya sumber disharmoni antara Kompilasi Hukum Syariah dan Dewan Syariah Nasional MUI, seperti masalah penggunaan istilah yang tidak tepat, dan penggunaan definisi yang sama dengan konsep konvensional.

Bukan hanya itu, lanjut Azharuddin, terdapat penerjemahan istilah yang salah, fatwa baru yang mengelaborasi konsep lama, penggunaan objek fatwa yang tidak utuh, adanya pengembangan konsep sementara fatwa lama belum diperbaiki, dan perumusan konsep yang berbeda.

Adapun Nyimas Rohmah menjelaskan peta jalan pengembangan pengembangan dan penguatan perbankan syariah Indonesia (2023–2027). Peta jalan ini terdapat 5 pilar yang dituju yaitu:

1. Penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah.

2. Akselerasi digitalisasi perbankan syariah.

3. Penguatan karakteristik perbankan syariah.

4. Peningkatan kontribusi perbankan syariah dalam perekonomian nasional.

5. Penguatan pengaturan, perizinan dan pengawasan perbankan syariah.

“Pada tahun 2027 diharapkan terbentuk perbankan syariah yang sehat dan berintegritas, memiliki daya saing dengan keunikan syariahnya, serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional untuk mencapai kemaslahatan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Endang Setyowati menyampaikan tantangan yang dihadapi oleh para praktisi dalam penyusunan dan akad pembiayan syariah, yakni perlunya pemahaman akan fiqh muamalah dan penggunaan istilah hukum Islam yang belum diakomodir dalam peraturan yang digunakan dalam akad pembiayaan.

Hal lain yang juga penting, kata dia, adalah dasar hukum yang digunakan tidak hanya peraturan-peraturan terkait, melainkan juga fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan prinsip-prinsip hukum Islam.

“Belum lagi soal implementasi penerapan Peraturan Perpajakan terkait dengan PPN dan PPh,” ujarnya.

Kemudian, implementasi Peraturan OJK tentang Produk Bank Umum yang juga terdapat ketentuan terkait musyarakah dan pengaturan sengketa juga harus jelas. “Hal ini memang membutuhkan adanya harmonisasi peraturan,” ujarnya.

25