Jakarta, Gatra.com - Duta Besar RI untuk Iran Periode 2012-2016, Dian Wirengjurit menegaskan bahwa Palestina belum menjadi anggota PBB. Sehingga, proses perdamaian Palestina-Israel masih jauh dari kata sepakat.
"Resolusi yang menyatakan Palestina sudah menjadi anggota PBB sama sekali salah. Palestina belum menjadi anggota resmi PBB," katanya dalam diskusi virtual pada Kamis malam (13/6).
Ia menyebut, dalam resolusi sidang khusus darurat atau Emergency Special Session PBB pada Mei 2024 lalu, status Palestina hanya ditingkatkan. Artinya, Palestina mendapat hak untuk diberikan kursi di antara negara-negara anggota PBB berdasarkan alfabet.
Kemudian, dengan resolusi ini Palestina boleh menyampaikan statement resmi seperti negara anggota PBB tergantung urutan pendaftaran statement-nya.
"Selama ini sebagai observer, dia hanya bisa bicara kalau diundang dan itu pun setelah negara anggota selesai menyampaikan statemennya," jelas Dian.
Selanjutnya, Palestina juga bisa menyampaikan statement atas nama grup di acara-acara rutin PBB. Misalnya, Palestina bisa menyampaikan statement atas nama negara-negara arab, selama sudah disepakati.
"Macam-macam haknya, bisa menyampaikan proposal atas satu isu, bisa menjadi co-sponsor, bisa menyampaikan right of reply, dan lain-lain di acara rutin PBB," ujarnya.
Meski begitu, lanjutnya, sebagai negara yang statusnya ditingkatkan, Palestina tetap tidak memiliki hak voting.
detail yang termaktub dalam annex-nya. sekarang yang namanya operatif paragrafnya itu, hanya menyatakan bahwa Palestina memang memenuhi syarat untuk menjadi anggota. kedua, meminta Dewan Kehormatan PBB untuk mempertimbangkan. ketiga, ecosoc dan sebagainya harus bisa menerima modalitas masuknya Palestina dalam sidang-sidang mereka, dan sebagainya.
Adapun yang termaktub dalam resolusi itu yakni hanya mengakui Palestina memang memenuhi syarat untuk menjadi anggota PBB. Kedua, meminta Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan keanggotaan Palestina. Ketiga, ecosoc dan sebagainya harus bisa menerima modalitas masuknya Palestina dalam sidang-sidang mereka, dan sebagainya.
"Saya tegaskan di operatif paragraf ketujuh. Di situ ditegaskan bahwa setelah berakhirnya pendudukan Israel dan mengarah membahas masalah perdamaian, 145 negara itu sepakat bahwa yang harus dicapai adalah penyelesaian two state. jadi bukan maunya negara A atau negara B," tegasnya.
Dian menjelaskan bahwa resolusi soal kesepakatan two state berdasarkan status pada tahun 1967. Ketika itu Gaza dan tepi barat secara keseluruhan ditambah Yerusalem Timur yang akan menjadi future of Palestine.
"Jadi bukan Yerusalem secara keseluruhan. Itu sudah disepakati di Perjanjian Oslo 1993," ucap Dian.