Jakarta, Gatra.com - Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) menyoroti Revisi Undang-Undang (UU) TNI dan Polri yang sedang di bahas menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo, mengatakan pembahasan dua RUU ini sebaiknya dilaksanakan dengan pelibatan partisipasi yang bermakna dari masyarakat.
Menurut Trisno, hal ini malah terkesan terburu-buru dilakukan. Dikatakan Trisno seharusnya bisa jadi pembahasan dengan DPR periode 2023-2029.
“Tidak pada tempatnya kalau penyusunan undang-undang dilakukan buru-buru, apalagi pada akhir masa jabatan,” ucap Trisno dalam diskusi Revisi RUU Polri dan RUU TNI, Apakah Mengancam Demokrasi? diikuti secara daring, Rabu, (11/6).
Lebih lanjut, Trisno mengatakan bahwa Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah berpandangan sebaiknya revisi UU TNI dan UU Polri diserahkan kepada Anggota DPR RI periode 2023–2029.
"Untuk itu, tidak perlu dilakukan secara terburu-buru, ada baiknya diserahkan kepada Anggota DPR-RI periode 2024-2029," lanjutnya.
Sementara itu, terkait pengaturan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber oleh Polri dinilai perlu dilaksanakan dengan bertanggung jawab, sehingga perlu mendapatkan izin pengadilan.
Kemudian, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menilai pengaturan penyadapan dalam revisi UU Polri merupakan bentuk pelanggaran privasi. Menurutnya, diperlukan akuntabilitas pengaturan penyadapan serta prinsip-prinsip penyadapan harus menghormati hak asasi manusia (HAM).
Di samping itu, mengenai ketentuan dalam revisi UU TNI yang membolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyebut sebaiknya klausul tersebut dihapuskan.
Di sisi lain, perihal perpanjangan usia kedinasan prajurit TNI dan Polri dinilai perlu dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya, serta dihubungkan dengan pengaturan terkait jabatan dan tugasnya dilakukan dengan mengutamakan fungsi perlindungan dan pelayanan Masyarakat.
Trisno juga mengkritik soal pengaturan restorative justice atau keadilan restoratif dalam RUU Kepolisian.
Sebab, menurut Trinso, seharusnya restorative justice diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan dalam UU Kepolisian.
Pandangan lainnya terkait RUU Polri juga berkaitan dengan Pasal 16 ayat 1 terkait kewenangan polisi memblokir dan memutus akses internet.
Menurut Trisno, kebijakan tersebut jika dilakukan harus dengan tanggung jawab dan perlu dilakukan dengan dasar izin dari pengadilan. Dia juga menyoroti perihal pengaturan penyadapan dalam RUU Kepolisian.
"Apa pun bentuknya (penyadapan) merupakan pelanggaran privasi, hal ini tidak dapat dibenarkan. Untuk itu, akuntabilitas perlu dilakukan terkait pengaturan penyadapan," kata Trisno. Trisno mengatakan, perlu ada kewenangan pemberian izin penyadapan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk memastikan dilakukan dengan baik dan benar. "Prinsip-prinsip penyadapan, harus menghormati hak asasi manusia," ujar dia
Diberitakan sebelumnya, DPR RI menyetujui revisi empat undang-undang sebagai usul inisiatif DPR, yaitu revisi UU Kementerian Negara, UU Keimigrasian, UU TNI, dan UU Polri.
Peresmian usulan RUU inisiatif DPR itu disahkan dalam Sidang Paripurna Ke-18 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad di Ruang Rapat Paripurna DPR-RI, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat pada (28/5).
Beberapa pasal kontroversial dan ketakutan publik terkait RUU TNI dan RUU Polri berkaitan dengan kewenangan dua lembaga tersebut yang semakin meluas. TNI dikhawatirkan kembali menjadi lembaga dwifungsi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Sedangkan Polri diberikan kewenangan lebih luas seperti masuk dalam bidang intelijen dan mengatur jaringan internet, hingga kewenangan penyadapan.
Dian Fitriyanah