Kudus, Gatra.com - Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dibantu tiga perguruan tinggi bekerjasama untuk mendampingi santri korban kekerasan di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Tiga universitas tersebut yakni Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (UMK), IAIN Kudus, dan Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU).
Diketahui, belasan santri di salah satu pesantren di Kota Kretek, diduga mendapatkan kekerasan oleh seorang oknum pengasuh pesantren. Satu korban bahkan kedua tangan mengalami melepuh lantaran dicelupkan kedalam air panas. kejadian tersebut terjadi pada Senin (27/5).
Ketua JPPA Kudus, Noor Haniah, mengatakan kehadiran tiga universitas ini menjadi semangat baru bagi JPPA untuk melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak.
"Tidak hanya kasus santri ini saja, JPPA saat ini menangani sejumlah kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak. Dengan keterlibatan perguruan tinggi ini diharapkan semakin banyak yang peduli pada isu-isu ini," ujarnya, Senin (11/6).
Ia menduga, ada informasi yang ditutupi dalam dugaan kekerasan di salah satu pesantren tersebut. Alasannya, belasan santri yang menjadi korban sang oknum pengasuh pesantren jumlahnya berbeda, antara keterangan pesantren dengan pihak kepolisian.
"Selain itu keluarga korban juga mulai mendapat tekanan, agar kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi kehadiran tiga perguruan tinggi ini yang akan bergabung dengan JPPA dan tim hukum kami, sangat penting untuk mengawal hak-hak korban," bebernya.
Dekan Fakultas Hukum UMK, Hidayatullah mengungkapkan, dugaan kasus kekerasan santri ini harus ditangani secara serius karena sudah menjadi perhatian luas terhadap dunia pendidikan di Kudus.
"Jangan sampai ada kesan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pondok pesantren adalah hal yang lumrah dan biasa. Jika demikian diharapkan kasus tersebut berpotensi akan terus berulang karena tidak ada efek jera," ungkapnya.
Apalagi dalam kasus ini, korban sampai mengalami cacat fisik dan butuh biaya rumah sakit yang tentunya tidak sedikit. "Kasus ini menjadi momentum untuk menunjukkan kepada pengelola lembaga pendidikan, bahwa jika kasus serupa berakhir dengan mediasi, dikhawatirkan tidak ada efek jera. Karena itu kami berkepentingan melakukan pendampingan pada kasus ini," terangnya.
Pihaknya bersama dua kampus lainnya akan menerjunkan paralegal untuk bersama-sama tim hukum JPPA Kudus mengawal kasus tersebut.
Melihat kondisi korban, kata Hidayatullah, tentu tidak bisa menjadi alasan jika nanti kasus tersebut diselesaikan melalui upaya restorative justice (perdamaian).
Ditambahkan, pendampingan universitas ini diharapkan tak berhenti pada kasus yang menimpa santri. Lebih dari itu, perlu adanya upaya preventif melalui sosialisasi di lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren, yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi.