Jakarta, Gatra.com – Hasil riset yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, menemukan bahwa mayoritas publik punya resistensi terhadap calon kepala daerah (cakada) yang berpoligami atau punya istri lebih dari satu. Berdasarkan data riset di sejumlah wilayah, LSI Denny JA mengungkap sekitar 60% hingga 75%, masyarakat menolak cakada yang berpoligami.
Hal tersebut disampaikan peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, M. Khotib, dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin, 10 Juni 2024. Khotib mengungkap, dari pengalamannya melakukan survei di sejumlah wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa, terdapat sejumlah isu yang harus diwaspadai agar elektabilitas para kandidat tidak merosot. Di antaranya isu poligami, narkoba, perselingkuhan, dan korupsi.
Sejumlah isu sensitif tersebut berdasarkan data survei yang potensial bisa merontokkan keterpilihan para kandidat di Pilkada. Khusus untuk Kota Bogor, LSI Denny JA baru akan melakukan survey pada awal Juli mendatang untuk memotret isu-isu negatif yang dapat menggerus elektabilitas kandidat. Sekaligus untuk mengetahui seberapa besar resistensi publik terhadap isu-isu tersebut.
Khotib menyebut, tren penolakan terhadap kandidat berpoligami kemungkinan besar juga akan terjadi di Bogor, meski belum diketahui siapa kandidat yang berpoligami di kota tersebut. “Dari data survei sebelumnya di sejumlah daerah, ada penolakan cukup kuat dari mayoritas publik terhadap kandidat yang poligami. Dugaan saya, data yang sama akan terjadi di Kota Bogor. Meskipun, kita tak tahu, siapa kandidat walikota yang beristri lebih dari satu itu,” kata Khotib.
Menurut Khotib, semua kandidat harus memperhatikan data survei semacam ini, agar dapat lebih waspada dan antisipatif saat isu tersebut bergulir. Dari pengalamannya, faktor yang bisa membuat hasil survei meleset itu antara lain adanya tsunami politik dan politik uang.
Salah satu bahan yang bisa menjadi tsunami politik, lanjut Khotib, adalah isu-isu negatif tadi termasuk poligami. Teori dalam isu negatif yang bisa berefek elektoral itu, antara lain, seberapa banyak publik tahu, dan seberapa banyak publik yang percaya terhadap isu tersebut.
Khotib mencontohkan, isu korupsi yang dituduhkan kepada salah satu kandidat. Tapi, faktanya, mayoritas publik tetap memilihnya. Ternyata, karena mayoritas publik tidak tahu, dan bagi yang tahu, tidak mempercayainya. Ia menyebut, ada kandidat yang sudah dua bulan ditahan KPK tapi masih tetap dipilih.
Menanggapi sejumlah isu yang beredar di Kota Bogor, Khotib mengaku belum punya data yang bisa disampaikan. Terkecuali rumor politik dinasti yang dialamatkan kepada salah satu kandidat, yaitu Sendi Fardiansyah, yang kebetulan menjabat Sekpri Ibu Negara, Iriana Jokowi. Khotib menyebut, dari pengalaman sejauh ini, politik dinasti termasuk isu elitis yang tidak berpengaruh terhadap mayoritas pemilih di bawah.
“Sejauh kandidat itu mampu meyakinkan publik dengan personal brandingnya sebagai sosok yang baik, bersih, peduli dan mampu memimpin, isu itu tak akan berpengaruh. Namun, jika isunya selingkuh atau berpoligami, yang diketahui mayoritas publik, ini yang justru potensial merontokkan,” pungkasnya.