Jakarta, Gatra.com - Imparsial mendesak DPR RI untuk tidak melanjutkan pembahasan rancangan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, rancangan tersebut memuat beberapa masalah yang mengakibatkan perluasan praktik dwifungsi ABRI dan inefisiensi di TNI.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri dalam rilisnya, Senin (10/6), menilai frasa pada pasal 47 ayat (2) mengenai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif akan melegalisasi perluasan praktik dwifungsi ABRI.
Adapun, frasa yang disorotinya adalah ‘serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden’. Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas dalam memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI.
“Dengan kata lain, Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Jelas akan melegalisasi perluasan praktik dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi,” kata Gufron.
Dirinya juga menjabarkan berdasarkan data Babinkum TNI pada 2023 tercatat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil. “Dengan adanya usulan perubahan tersebut, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif berpotensi lebih banyak lagi,” lanjutnya.
Selain pasal 47 ayat (2), Gufron juga memandang Pasal 53 ayat (2) mengenai penambahan masa usia pensiun prajurit TNI menjadi 60 tahun akan memicu inefisiensi TNI, menambah beban anggaran di sektor pertahanan, dan membuat macetnya jenjang karir serta kepangkatan yang berpotensi menyebabkan surplus perwira TNI tanpa jabatan.
“Dalam hal surplus perwira tanpa jabatan, hal ini sesungguhnya telah menjadi masalah lama di dalam TNI, dan langkah yang dilakukan sebelumnya yaitu dengan mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil justru hanya memunculkan masalah baru,” ucapnya.
Dengan demikian, Imparsial telah mengirimkan alternative policy revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan surat permohonan audiensi kepada sembilan fraksi politik di DPR RI untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI.
Lebih jauh, Gufron menyebut ada tiga alasan Imparsial mendesak penghentian pembahasan revisi UU TNI tersebut. Pertama, DPR RI periode 2019 - 2024 tidak lama lagi akan berakhir.
“Masa kerja yang singkat tersebut penting untuk dipertimbangkan karena pembahasannya berpotensi mengabaikan salah satu asas pembentukan perundang-undangan, yaitu prinsip partisipasi publik. Pembahasan RUU TNI tidak hanya terkait kepentingan TNI, tapi juga masyarakat secara umum,” ujar Gufron.
Kedua, Imparsial melihat usulan perubahan UU TNI sangat problematik karena tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip tata nilai negara demokrasi serta memundurkan reformasi TNI. “Khususnya kekhawatiran terkait kembalinya dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak awal Reformasi,” tutur Gufron.
“Ketiga, DPR RI sebaiknya fokus mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU tentang Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI,” tutup Gufron.