Solo, Gatra.com - Akademisi Universitas Indonesia (UI), Febby Mutiara Nelson, menyoroti fenomena putusan mengenai eksepsi Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. Menurutnya, eksepsi Gazalba terkait dengan penuntutan dan surat dakwaan tidak dapat diterima karena penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menerima pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung.
Sebagai informasi, Gazalba Saleh merupakan hakim agung yang sekaligus hakim senior yang menjadi terdakwa atas kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang Rp62,8 miliar. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerima nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh Gazalba Saleh.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Direktur Penuntut KPK tidak memiliki wewenang dan tidak berwenang melakukan penuntutan, karena tidak ada surat pendelegasian dari Jaksa Agung. Sehingga surat dakwaan jaksa KPK dianggap tidak dapat diterima. Atas dasar ini, Majelis Hakim memerintahkan jaksa KPK melepaskan Gazalba dari tahanan.
Terkait hal ini, Febby menyoroti bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang untuk mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan pada penuntut umum. Hal tersebut berdasarkan Pasal 35 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
”Jaksa di KPK tidak serta merta menjadi JPU yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung selaku penuntut tunggal sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 51 Ayat (1) di Undang-Undang KPK,” jelasnya melalui rilis yang diterima Gatra.com di Solo pada Minggu, (9/6).
Ia menyoroti mengenai pendapat majelis hakim yang menyatakan jaksa KPK tidak dapat menunjukkan dan membuktikan persidangan tentang adanya pendelegasian kewenangan dari Jaksa Agung RI. Sehingga direktur penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Menurut Febby, KPK justru mempunyai tugas untuk menuntut. Sebab KPK bekerja berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dalam Undang-Undang KPK. Dalam aturan tersebut, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
”Sehingga KPK dengan undang-undangnya sendiri dinilai tidak memerlukan persetujuan Jaksa Agung untuk melakukan penuntutan,“ ujarnya.
Sebab berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang KPK dinyatakan bahwa tugas dan kewenangan KPK adalah melakukan pencegahan, koordinasi, monitoring, dan menuntut. Tapi, berdasarkan Pasal 12A Undang-Undang KPK juga dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut pada KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.
Lebih lanjut Febby menilai jika kewenangan KPK di bawah jaksa agung, maka independensi lembaga ini pada Undang-Undang KPK bertentangan dengan aturan di dalamnya.
”Meskipun masih ada celah dari aturan ini yang bisa diperdebatkan oleh ahli hukum, yakni mengenai pasal kewenangan menuntut oleh komisioner KPK,” ujarnya.
Terkait putusan hakim untuk perkara Gazalba tersebut, menurutnya ,perlu ada pengujian kembali. ”Katanya KPK akan ada upaya hukum lagi. Semoga saja hasilnya akan menjadi putusan yang terbaik bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kalau KPK melakukan banding, sudah layaknya demikian,” ujarnya.
Sebagai informasi, ini merupakan kemenangan yang kedua kalinya bagi Gazalba. Sebelumnya, ia sempat menghirup udara bebas setelah KPK menahannya sejak 8 Desember 2022 dalam kasus dugaan penerimaan suap pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung kemudian menyatakan Gazalba tidak bersalah. Ia kemudian dibebaskan dari Rutan Pomdam Jaya Guntur tepat malam hari setelah putusan dibacakan pada 1 Agustus 2023 lalu. KPK lalu mengajukan kasasi ke MA, namun upaya hukum terakhir itu ditolak dan Gazalba dinyatakan bebas.