Jakarta, Gatra.com – Semarak Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) kembali hadir di tahun kesembilannya mulai tanggal 31 Mei hingga 23 Juni 2024. Kegiatan FSAI 2024 resmi diluncurkan oleh Duta Besar (Dubes) Australia untuk Indonesia, Penny Williams PSM dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik Australia-Indonesia, dengan rangkaian film yang menampilkan kisah-kisah unik Australia yang menyoroti sejarah, keragaman, dan kreativitas.
Festival tahun ini akan menampilkan film-film Australia dan Indonesia kepada para penonton di sepuluh kota Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Padang, Surabaya, Mataram, Makassar, Manado, Samarinda, dan Balikpapan.
Festival dibuka dengan pemutaran perdana “Blueback” di Indonesia, sebuah film Australia Barat karya sutradara Robert Connolly yang menceritakan kisah universal tentang persahabatan, keluarga, dan komunitas.
“Blueback” berkisah tentang gadis muda Abby, yang berteman dengan seekor ikan kakap biru liar saat menyelam. Saat Abby menyadari ikannya terancam, ia terinspirasi dari ibunya Dora, seorang aktivis lingkungan, melawan pemburu liar untuk menyelamatkan hewan cantik tersebut.
Dalam FSAI 2024, penikmat film dan pelajar di Indonesia dapat mengasah energi kreatif mereka dengan mengikuti masterclass yang menghadirkan pakar dari Australia yang akan membahas mengenai petualangan sinematik, produksi film, pengarsipan film, dan pembuatan film planetarium.
FSAI 2024 juga menampilkan film populer karya anak bangsa yang diproduseri alumni Indonesia di Australia, serta kesempatan bagi mahasiswa film, sineas pendatang baru, dan masyarakat umum untuk belajar dari para pembuat film dan alumni Australia di masterclass pembuatan film yang diadakan oleh Konsulat Jenderal Australia.
Direktur fotografi dan film asal Australia Rick Rifici tampil sebagai pembicara dalam acara “Masterclass: Seni Bercerita Sinematis” yang diselenggarakan oleh Festival Sinema Australia Indonesia di GoWork Senayan City, Jakarta Pusat, pada Selasa, 4 Juni 2024. Kegiatan Masterclass tersebut secara resmi dibuka oleh Counsellor Emma Bourke, dari Bagian Urusan Publik (Public Affairs) Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Rick Rifici merupakan sinematografer pemenang banyak penghargaan. Ia memiliki pengalaman lebih dari 35 tahun di industri dokumenter, film layar lebar, dan televisi. Bermukim di Australia, Rick telah menjadi sinematografer terkemuka di berbagai proyek yang mendapat pujian banyak kalangan.
Kreativitasnya, perhatiannya terhadap detil serta profesionalisme, membuat Rick Rifici tidak hanya bekerja sama dengan sutradara dan produser Australia, namun juga sineas internasional. Kecintaan Rick terhadap sinematografi telah membuatnya diakui oleh Australian Academy of Cinema and Television Arts (ACCTA) dan juga kalangan kritikus film Australia.
Rick memiliki bakat dalam menangkap keaslian individu dalam lingkungan yang beragam, memperkaya narasi melalui komposisi visual yang cermat, penggunaan cahaya dan bayangan, serta sarana teknis. Ia didorong rasa tanggung jawab yang mendalam untuk menghormati kekasaran setiap subjek dan latar, menerjemahkan suatu tempat, momen, atau ide ke realitas sinema. Lebih jauh, Rick terdorong mewujudkan visi sutradara dan mengaktualkannya di layar, memupuk hubungan yang kuat dan pemahaman tentang subjek.
Dalam penggarapan film, Rick antusias mengeksplorasi beragam format dan peralatan, untuk mencapai puncak nilai produksi dalam lingkungan yang berbeda dan tidak dapat diprediksi. Dalam Masterclass, dirinya menekankan pentingnya tujuh elemen atau aspek dalam pengambilan scene film. Di antaranya sinematografi, cahaya dan bayangan, lokasi, produksi, kolaborasi, karakter, dan peralatan.
Menurut Rick Rifici, teknik pengambilan gambar di alam termasuk di bawah air merupakan pekerjaan yang menantang. Karena itu, selain elemen cahaya dan bayangan yang memperkuat kisah, videografer juga harus memperhatikan aspek lokasi, yakni lingkungan yang khas dan tidak dapat diprediksi.
Karena pengambilan gambar di alam selalu bervariasi, Rick Rifici menyebut penting untuk menggunakan teknik pengambilan gambar yang fleksibel dan mengadaptasi diri terhadap kondisi sekitar. “Pengambilan gambar di semua jenis alam cukup menantang, karena alam selalu berubah. Dan penting untuk kami agar bisa beradaptasi dengan kondisi alam di hari kami melakukan syuting,” kata Rick.
Selain aspek produksi, penting bagi direktur fotografi memahami konsep kolaborasi dan karakter dalam film. “Kolaborasi berarti mewujudkan visi sutradara dan mewujudkannya di layar lebar. Sementara pemahaman karakter yakni menumbuhkan hubungan yang kuat dan pemahaman tentang subjek,” ujarnya.
Di kesempatan Masterclass, Rick membagikan pengalamannya dalam menggarap film dalam berbagai kelas. Mulai dari film komersial, serial televisi, film fitur, film utama, dan film unggulan. Ia berkarya dalam berkarya dalam berbagai film dan serial televisi, termasuk “Facing Monsters”, “The Furnace”, “Blueback”, dan serial Netflix “Surviving Summer”.