Jakarta, Gatra.com – Mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ade Armando, mengatakan, RUU Penyiaran harus dilawan karena membungkam pers dan sangat buruk.
“Menurut saya, ini [RUU Penyiaran] harus dilawan upaya dari DPR untuk me-riding sebuah undang-undang,” kata Ade dalam diskusi publik “Apa yang Salah dengan RUU Penyiaran?” secara daring pada akhir pekan ini.
Ia menegaskan, DPR tidak bisa seenaknya membuat RUU Penyiaran semau dia meskipun UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 itu banyak yang sudah tidak sesuai perkembangan zaman.
“Dia pikir kita semua sepakat UU Penyiaran itu banyak enggak relevannya, tapi [revisinya harus] dengan cara yang benar dan jangan sampai jahat,” katanya.
Ia menilai DPR jahat karena dalam RUU Penyiaran versi Maret yang telah dibacanya itu, di antaranya melarang jurnalis atau media untuk melakukan dan menayangkan jurnalisme investigasi sebagaimana terdapat pada Pasal 50b Ayat (2) c.
Selain itu, kata dia, RUU Penyiaran ini banyak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), khususnya soal gay dan lesbian. “Model iklan saja enggak boleh gay, lesbian,” ujarnya.
“Lebih parah lagi, bahkan anggota KPI-nya tidak boleh gay, itu against human right. Menjadi gay dan lesbian, betapapun anda tidak setuju, saya tidak setuju, enggak penting. Yang penting itu human right, orientasi seksual itu human right,” katanya.
Terlebih lagi, kata Ade, bagaimana membuktikan bahwa seseorang itu gay atau lesbian atau LGBT. “Melamar jadi anggota KPI, salah satu syaratnya harus straight anda tidak gay, bagaimana caranya [membuktikannya]?” kata dia.
Bukan hanya membungkam kebebasan pers, lanjut Ade, penulisan RUU Penyiaran juga berantakan sehingga multi tafsir dan bakal menjadi pasal “karet”.
“Saya melihat problematik sekali revisi RUU ini. Naskahnya sangat buruk dan saya juga mempertanyakan, kira-kira siapa sih yang bikin?” ucapnya.
Sebelumnya, lanjut Ade, pihak universitas termasuk dari Universita Indonesia akan dimintai masukan, termasuk dalam merumuskan kalimat RUU Penyiaran agar jelas, efektif, dan tidak multitafsir.
“Dulu saya orang UI. Biasanya kita adalah orang-orang yang bisa memberikan masukan, harusnya kalimatnya enggak begini, semangatnya enggak begitu,” katanya.
Ia menegaskan, kalau saja para akademisi termasuk dari UI dilibatkan, ia yakin bahwa RUU Penyiaran sekarang tidak akan seburuk ini. “Ini buruk, hasilnya [nilainya] pasti di bawah lima,” kataya.
Isi atau kalimat-kalimat di dalam RUU Penyiaran tersebut menunjukkan bahwa pembuatnya tidak memahami atau tidak tahu caranya bagaimana membuat formula kalimat yang tepat agar tidak multi tafsir.
“Dulu saat merancang RUU tertentu itu jaga betul kalimatnya. Sebagai contoh yang tentang pelarangan siaran kekerasan,” katanya.
Ade menduga bahwa maksudnya kekerasan dalam artian smackodwn atau adegan-adegan kekerasan seperti di film Vina itu enggak boleh muncul.
“Tapi kan kalau ditulis, dilarang aksi kekerasan, demonstrasi itu aksi kekerasan. Ada orang berantem di pinggir jalan itu juga kekerasan. Saya rasa karena dia tidak tahu menuliskannya secara benar,” kata dia.
Ade pun meminta UI untuk membuat position paper guna mengoreksi draf RUU Penyiaran yang banyak kesalahan dan sangat buruk tersebut. “Secara tegas nyatakan ini salah, ini salah, ini bertetangan dengan hak asasi mausia, dan seterusya. Karena ini buruk sekali dan saya berharap ini enggak lolos [menjadi UU) sebelum bulan Oktober,” ujarnya.