Jakarta, Gatra.com - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan bahwa seharusnya kepesertaan tabungan perumahan rakyat (Tapera) bersifat sukarela bukan kewajiban.
Menurutnya, kewajiban menjadi peserta Tapera berakibat pada menurunkan disposable income masyarakat. Apalagi, saat ini beredar isu kenaikan tarif pajak hingga 12% di tahun 2025.
"Ketika disposable income kita berkurang, otomatis konsumsi kita juga turun. Ini yang dapat menekan konsumsi dari kelas menengah," katanya ketika dihubungi Gatra.com, Jumat (31/5).
Ia menyebut, saat ini masyarakat menengah ke bawah sudah dibebankan dengan berbagai potongan penghasilan. Mulai dari potongan untuk iuran BPJS Kesehatan, BPJampostek, hingga pajak penghasilan.
Oleh karena itu, kepesertaan wajib Tapera akan semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Terlebih, Tapera merupakan satu bentuk investasi yang tidak likuid.
"Tapera baru bisa diambil setelah memasuki usia pensiun di umur 58 tahun. Artinya itu investasi yang tidak likuid. Ini yang menyebabkan akhirnya masyarakat bilang bahwa ini tidak ada manfaatnya bagi kita," jelasnya.
Di sisi lain, bagi masyarakat berpenghasilan tinggi, Tapera hanya akan menjadi sebuah investasi kurang menguntungkan. Menurut Huda, akan terjadi hilangnya opportunity cost akibat kewajiban kepesertaan Tapera ini.
"Mereka seharusnya bisa mendapatkan keuntungan lebih tinggi dari pada menabung di Tapera," ucapnya.
Ia juga menjelaskan, investasi yang ditawarkan BP Tapera dirasa kurang menarik lantaran diarahkan pada Surat Berhaga Negara (SBN). Pasalnya saat ini SBN tidak lebih menarik dari investasi bunga deposito.
"Bunga deposito itu mengikuti suku bunga Bank Indonesia. Ketika suku bunga Bank Indonesia meningkat, bunga deposito juga meningkat. Investor yang rasional akan lebih memilih untuk berinvestasi ke bunga deposito dari pada SBN," katanya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kebijakan kewajiban kepesertaan Tapera saat ini tidak bijak. Mengingat, kondisi perekonomian masyarakat menengah ke bawah yang masih banyak tertekan oleh berbagai faktor.