Home Nasional Akademisi Muhammadiyah: Revisi UU Penyiaran Tak Sejalan UU Pers

Akademisi Muhammadiyah: Revisi UU Penyiaran Tak Sejalan UU Pers

Bantul, Gatra.com - Kalangan akademisi dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menilai upaya revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tak sejalan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pelarangan penyiaran hasil liputan investigasi dan pemberitaan yang dapat dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dinilai akan menghalangi perkembangan pers dan demokrasi Indonesia.

Kritik atas revisi UU tersebut disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Tri Hastuti Nur Rochimah, Muria Endah Sokowati, dan Senja Yustitia pada Jumat (24/5) di UMY.

“Tidak mungkin peraturan dihadirkan tanpa menggunakan aturan sebelumnya. Aturan-aturan yang menjadi problem dalam revisi semisal mengenai investigasi sudah diatur dalam UU Pers dan itu diperbolehkan,” kata Tri Hastuti.

Hal ini, menurut Tri, patut dipertanyakan karena pemerintah dan legislatif melihat UU Pers sebagai konsiderans atau bahan pertimbangan. Untuk itu penyiaran berita investigasi seharusnya tidak dilarang karena akan banyak hal tersembunyi bisa disampaikan ke publik, misalnya soal korupsi.

“Ini menjadi catatan saya, semua aturan mengenai jurnalistik sudah diatur dalam UU Pers dan ini dijadikan konsideran penting dalam penyusunan revisi UU Penyiaran,” ungkapnya.

Tri menyatakan jika revisi UU Penyiaran sampai lolos, hal ini berdampak pada perkembangan demokrasi yang dibangun sejak era Reformasi. Di tengah lemahnya peran eksekutif dan legislatif, peran pers selama ini menjadi sandaran publik dalam mengembangkan demokrasi.

Senja Yustitia juga sangat menyesalkan interpretasi oleh pengusul revisi. Ia melihat publik, akademisi, bahkan pihak pers tidak pernah diajak atau dilibatkan dalam penyusunan.

“Berbagai pihak seperti jurnalis, peneliti yang berkaitan dengan riset media, akademisi, dan berbagai kalangan harus dilibatkan dalam revisi ini,” paparnya.

Semakin mepetnya waktu pengesahan oleh DPR, Senja melihat pihak eksekutif dan legislatif cenderung mengarahkan untuk menempuh upaya judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, pemerintah enggan berpanjang-panjang dalam proses pembuatan revisi dan melibatkan banyak pihak sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan.

“Kami menginginkan regulasi sebaiknya tidak menabrak prinsip demokrasi yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Jadi itu yang kami pertanyakan," ucapnya.

Sementara Muria Endah Sokowati melihat pasal-pasal tentang pelarangan penyiaran berita investigasi, konten siaran di internet yang harus patuh pada Standar Isi Siaran (SIS), kewenangan KPU melakukan penyensoran di media sosial, dan pemberitaan yang dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, seperti pasal karet pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Poin-poin ini sangat mengancam kemerdekaan dan membungkam pers di Indonesia. Di masa mendatang padahal kehidupan pers yang independen merupakan roh dan pilar demokrasi yang sehat,” tutupnya.

73