Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai bahwa saat ini kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat sejak 26 tahun lalu silam kian terancam.
“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan,” kata Usman dalam keterangan tertulis, kemarin (21/5).
Dia memandang bahwa saat ini reformasi justru putar balik. Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil dan mengabaikan cita-cita reformasi.
Cara-cara represif yang lazim terjadi di Orde Baru, lanjut Usman, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi, dan berkumpul masih terjadi hingga kini.
Misalnya pada Senin 20 Mei, sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali.
Dalam video yang diperoleh Amnesty, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai “forum tandingan” World Water Forum yang digelar di Nusa Dua.
Massa yang menuding panitia diskusi ‘melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali’, lalu merobek dan merampas atribut acara dan melakukan kekerasan kepada peserta forum.
Usman menyebut bahwa intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. “Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan,” sebutnya.
Amnesty International Indonesia mendesak Pemerintah untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. “Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan,” ucap Usman.
Selain hal tersebut, Usman juga melihat bahwa upaya membungkam pers di Orde Baru juga dipraktikkan. Yang terkini adalah upaya mengkebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dia memandang beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi.
“Contohnya, Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik,” pungkas Usman.
Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM, katanya, Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik.
Tak hanya sampai di situ, Amnesty International Indonesia menilai bahwa Negara tampaknya masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ini ditunjukkan dengan Presiden Joko Widodo, di bulan-bulan akhir masa pemerintahannya, gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023 lalu.
“Situasi ini menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” ungkap Usman.
Akhirnya ini memperkuat kesan bahwa negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain.
“Negara tidak boleh mengesampingkan, apalagi menghentikan proses yudisial dan non-yudisial terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama para pelakunya masih melenggang bebas,” tutup Usman, kemarin (21/5).