Jakarta, Gatra.com – Mantan Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro, angkat bicara soal keluhan mahalnya Uang Kuliah Tetap (UKT) yang lagi menyedot perhatian publik.
Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers usai menyampaikan orasi ulmiah dalam wisuda Universitas Pancasila (UP) Jakarta di JCC, Jakarta, Senin (21/5), menyampaikan, harus merunut persoalan dana pendidikan ini dari hulunya.
“Melihat bagaimana pengalokasikan dana pendidikan dari awal. Kita ingat dalam UUD ada komitmen 20% dari APBN setiap tahun harus dianggarkan untuk pendiddikan,” katanya.
Sebanyak 20% dari APBN tersebut, lanjut dia, mayoritasnya akan ditransfer ke daerah karena dalam sistem pendidikan di Indonesia ini menjadi tugas dari pemerintah, yakni memastikan wajib belajar (Wajar) selama 12 itu harus terlaksana.
“Wajib belajar 12 tahun dari SD SMP, sampai SMA harus dipastikan bahwa semua orang bisa mengakses pendidikan sampai SMA,” katanya.
Menurutnya, pendidikan selama 12 tahun tersebut adalah harus dilakukan sebagaimana banyak negara menerapkannya karena tugas negara adalah menyiapkan dan melatih warganya agar siap memasuki dunia kerja.
“Nanti ada argumen kalau sampai SMA tidak cukup, betul. Tapi tetap saja ada lowongan pekerjaan untuk lulusan SMA, minimal. Tentunya satu negara ingin agar semua SDM-nya berkualitas tinggi sehingga dilakukalah pendidikan tinggi,” katanya.
Menurut Bambang Brodjonegoro, prinsip utama pendidikan tinggi adalah siapapun yang yang lolos seleksi masuk terutama PTN atau PTS terkemuka, tidak boleh gagal untuk kuliah karena masalah dana.
“Itu prinsip yang selalu saya terapkan waktu saya jadi pimpinan univesitas. Itu diterapkan sampai sekarang. Jadi prinsip universitas itu, siapa yang lulus dalam seleksi masuk itu harus bisa dipastikan berkuliah,” katanya.
Ia menegaskan, tidak boleh terhalang hanya karena kondisi keuagan orang tua calon mahasiswa yang telah dinyatakan lulus seleksi. Bagi yang tidak mampu, pasti disiapkan berbagai skema, misalnya beasiswa, pembebasan, keringanan, dan sebagainya. “Yang pasti anak ini harus bisa kuliah,” ucapnya.
Bambang Brodjonegoro lebih lanjut menyampaikan, solusinya adalah orang tua mahasiswa yang mampu, menyubsidi mahasiswa yang kurang mampu atau dikenal dengan subsidi silang.
“Imbauan saya justru kepada mereka yang mampu, yang punya diharapkan membayar sesuai cost yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi tersebut,” katanya.
Ia menegaskan, jangan sampai orang tua mahasiswa dan mahasiswa yang mampu atau berada malah berupaya agar bisa membayar uang kuliah lebih rendah dari kelas pendapatan tang telah ditentukan.
Ia menjelaskan, semua pihak harus terlibat dalam mengatasi persoalan UKT. Salah satunya masyarakat yang mampu memberikan subsidi silang dengan membayar UKT lebih besar sesuai kelas yang ditentukan oleh universitas.
“Kalau berharap pemerintah menyubsidi sepenuhnya, tentunya berat, karena ingat jumlah perguruan tinggi itu banyak sekali. Jadi harus dibagi ke sekian PTN,” katanya.
Bambang Brodjonegoro berpendapat, skema subsidi silang itu bisa menjawab persoalan UKT yang dikeluhkan mahal. “Permasalahan UKT ini bisa diselesaian kalau ada kesadaran,” ujarnya.
Ia menyimpulkan, ada dua prinsip. Pertama, siapapun yang tidak mampu tapi diterima di PT harus bisa dipastikan bisa kuliah sampai selesai. “Harus dipastikan semua dukungan kepada yang bersangkutan,” katanya.
Kedua, bagi mereka yang sudah masuk di PT dan orang tuanya mampu membayar diharapkan memberikan subsidi silang. “Jadi yang mampu harus bisa membantu yang tidak mampu,” katanya.