Jakarta, Gatra.com - Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati kembali buka suara terkait rencana implementasi kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Menurutnya, keputusan tersebut akan diserahkan kepada pemerintahan yang baru atau kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Adapun, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN sebesar 12% akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025 mendatang.
“Mengenai PPN itu nanti kami serahkan pemerintahan baru,” kata Sri Mulyani di DPR, Senin (20/5).
Menurut Bendahara Negara itu, Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) akan terus berkomunikasi dengan tim atau orang-orang yang ditunjuk oleh Prabowo dan Gibran.
Sri Mulyani juga menuturkan bahwa, penyusunan APBN 2025 juga diupayakan memasukan aspirasi dari pemerintahan baru.
“Sehingga pemerintah baru dalm program dan prioritas pembangunannya tetap bisa berjalan tanpa harus menunggu waktu,” ujarnya.
Diketahui, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai kenaikan tarif PPN akan mengerek harga barang dan jasa. Namun ia masih mempertanyakan efeknya sebesar apa.
Ia beralasan, masih ada fasilitas PPN dan ambang batas Perusahaan Kena Pajak (PKP), yang memungkinkan dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi tidak akan signifikan.
“Hasil kalkulasi tahun 2022 lalu hanya 0,4% itu pun sudah memasukkan faktor kenaikan harga BBM pada tahun 2022,” ujar Fajry kepada Gatra.com, Kamis (14/3/2024).
Fajry menjelaskan bahwa nilai C-efficiency ratio Indonesia masih sekitar 63%. Dengan kata lain, dari seluruh nilai transaksi konsumsi masyarakat Indonesia, yang masuk ke dalam sistem PPN hanya 63% saja.
“Itu pun sudah memasukan faktor restitusi PPN. Dan kalau dilihat dari jumlah transaksi, harusnya jauh lebih kecil lagi. Mungkin bisa di bawah 50%. Inilah salah satu penyebab tax ratio kita rendah, banyak transaksi ekonomi kita yang tak masuk dalam sistem PPN,” tutur Fajry.