Jakarta, Gatra.com - Peneliti Senior Imparsal, Al Araf, menilai bahwa rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak bertujuan membangun militer yang profesional.
“Tapi justru sebaliknya. Ini bentuk kemunduran dari Reformasi yang nyata jika DPR melanjutkan pembahas RUU,” kata Al dalam diskusi publik bertajuk ‘Menyikapi Kembalinya Dwifungsi ABRI, Perluasan Kewenangan TNI, isu Peradilan Militer dalam Pembahasan RUU TNI di DPR’, pada Minggu (19/5).
Menurut Al, seharusnya DPR berhenti pembasahan RUU TNI tersebut yang di dalamnya terdapat beberapa substansi-substansi yang bermasalah. Menurutnya, seharusnya Badan Legislasi DPR membagas kembali beberapa UU tentang TNI yang berkaitan dengan reformasi TNI.
“Ada 2 agenda reformasi TNI yang seharusnya dilakukan, pertama dalam revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer terkait dengan refomasi kedilan militer yang pernah dibahas di DPR pada 2004-2009 tapi gagal itu seharusnya dilakukan kembali dilakukan pada DPR yang sekarang,” katanya.
“Itu akan pembentukan tentang RUU tentang tugas pembanguan TNI. Dua hal itu yang menjadi penting,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Al mengatakan, pembahasan kembali RUU TNI tersebut tidak bersifat urgen terlebih di dalam RUU tersebut terdapat banyak pasal-pasal yang membawa kemunduran reformasi bagi TNI.
“Untul menyaksikan proses reformasi TNI berjalan agar kita menuju proses transformasi TNI yang profesional bukan dengan Revisi UU TNI yang ini,” katanya.
Menurut Al, RUU TNI Nomor 34 Tahun 2024 yang akan dibahas di DPR tersebut akan menjadi ruang baru bagi TNI dan dapat membahayakan demokrasi dan negara hukum.
“Jangan buka ruang kembali masuknya militer dalam kehidupan sosial, politik karena kalau itu terbuka akan menjadi sulit untuk menutup kembali,” ujarnya.
“RUU TNI Nomor 34 Tahun 2024 yang akan dibahas DPR akan menjadi kotak pandora dan ruang baru bagi kembalinya militer dalam dwifungsi pertahanan dan itu akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan aktivitasi manusia,” katanya.