Home Nasional LP3ES: Indonesia di Titik Nadir

LP3ES: Indonesia di Titik Nadir

Jakarta, Gatra.com – Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto Samirin, mengatakan, Indonesia sedang berada dalam titik nadir, baik dari segi kemunduran demokrasi, kinerja ekonomi, politik, dan bidang lainnya.

“Dunia politik, diibaratkan seperti toilet dalam satu rumah. Dia kotor, berbau ke mana-mana ke seluruh ruangan, air kotornya kadang bocor ke mana-mana ke bagian-bagian rumah yang bersih,” ujarnya.

Malangnya, lanjut Wijayanto dalam webinar bertajuk “Koalisi Besar Menuju Demamog Otoriter” pada akhir pekan ini, yang terjadi saat ini, adanya politisasi yang luarbiasa atas birokrasi.

“Dulu, masih bisa disebut birokrasi netral secara politik, tetapi sekarang, birokrasi dipakai sebagai alat politik. APBN-APBD dipakai sebagai amunisi politik,” katanya.

Demikian juga di sektor bisnis, dahulu dikenal persaingan dan efisiensilah yang menentukan kemenangan, tapi saat ini, koneksi telah menggantikan efisiensi. Proyek-proyek besar dilakukan melalui koneksi, tidak lagi tender terbuka.

“Terlebih sayang, ‘ruang tamu’ rumah, ikutan kotor sekali. Dunia akademik perguruan tinggi, civil society semakin banyak yang takut bicara. Terpengaruh oleh politisasi,” ujarnya.

Menurutnya, bukannya civil society yang mendorong sektor bisnis, politik, pemerintah tapi justru politik yang merangsek ke sektor public, government, bisnis bahkan sektor civil society.

“RUU Penyiaran adalah contoh warning besar bagi kita semua. Hal-hal itu semua yang membuat Indonesia saat ini ada di titik nadir,” katanya.

Demikian juga di sektor hukum, kasus korupsi semakin luarbiasa. Korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) tempo hari adalah wajah paling buruk birokrasi Indonesia. Seorang pemimpin memperlakukan anak buahnya seperti seorang hulubalang yang disuruh-suruh.

Bahkan, kata Wijayanto, keluarga dan anak-anaknya dilibatkan dengan anggaran dipergunakan untuk keperluan-keperluan privat. Korupsi di Kementan bisa jadi terjadi di birokrasi tempat lain. Pasalnya, typology korupsi di Indonesia seperti puncak gunung es.

“Di bidang ekonomi, pengungkapan ke publik selalu hal-hal baik. Bagai sisi mata uang, hanya satu sisi baik yang ditampilkan,” ujarnya.

Padahal, lanjut Wijayanto, fundamental ekonomi domestik amatlah rapuh. Pertama, semakin tergantung pada sumber daya alam (SDA), padahal negara-negara ASEAN sudah mengekspor teknologi tinggi, sedangkan Indonesia masih berkutat dalam ekspor komoditas atau bahan mentah (60% ekspor komoditas).

“Sedang terjadi penurunan global supply chain dan bukannya menaik,” katanya.

Wijayanto menyampaikan, pertumbuhan ekonomi juga wajib dikritisi. Jika faktor Ramadan, Pilpres atau Pemilu dikeluarkan dari hitungan PDB, maka diyakini PDB akan rendah sekali. Pengangguran, layoff PHK dan PPN didapat lebih rendah dari tahun lalu.

“Jadi faktor-faktor Ramadan, pemilu dengan bansos dan dana El Nino bukanlah aktivitas ekonomi yang sesunggunya,” kata dia.

Terlebih lagi, lanjut dia, selama 10 tahun ekonomi domestik disebut bagus karena ada steroid yang digunakan, yakni utang. Seperti anak yang hidup mewah tapi dari utang. Tentu saja itu tidak bisa berlaku dalam jangka panjang.

“Sisi fiskal juga kita makin tergantung pada utang dengan cicilan pokok dan bunga semakin membubung tinggi (14% dari APBN),” katanya.

Wijayanto mengungkapkan, fakta setahun terakhir, rupiah melemah terhadap 80% mata uang dunia. “Dari 167 mata uang dunia, rupiah melemah terhadap 125 mata uang dunia,” ujarnya.

60