Jakarta, Gatra.com - Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan energi di Indonesia akan mencapai 2,9 miliar setara barel minyak (SBM) pada 2050. Angka ini meningkat dari proyeksi 2040 yang sebanyak 2,1 miliar SBM. Proyeksi peningkatan kebutuhan energi tersebut sesuai dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi, penduduk, harga energi, dan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan sektor dimana kebutuhan energi itu, kebutuhan energi akan didominasi oleh sektor industri, dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata 3,9% per tahun. Kemudian sektor komersial, sektor rumah tangga dan sektor lainnya juga terus meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian dan jumlah penduduk.
Berdasarkan jenisnya, kebutuhan energi akhir masih didominasi oleh bahan bakar minyak (BBM) dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,8% per tahun. Ini terjadi karena sampai saat ini penggunaan teknologi peralatan BBM masih lebih efisien daripada peralatan energi lain.
Selain itu, biodiesel juga mengalami peningkatan karena perannya sebagai pengganti BBM yang dapat digunakan di beberapa sektor, seperti transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik. Selanjutnya, adanya perkembangan inovasi teknologi berbasis listrik hampir di setiap sektor, seperti kendaraan listrik mengakibatkan kebutuhan listrik meningkat pada 2050 dengan laju pertumbuan sebesar 4,7% per tahun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 yang baru lalu adalah sebesar 5,05 % sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,31% dan menunjukan terjadinya penguatan ekonomi di beberapa wilayah di Indonesia. Sementara itu, Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan penduduk sebesar 0,9% pada 2023. Hal ini tentunya akan mendorong tingkat permintaan energi dalam negeri. Disisi lain, faktor eksternal ketahanan energi diakibatkan konflik di Rusia dan Ukraina serta kestabilan kawasan Timur Tengah. Apalagi ditambah dengan saling serang antara Israel dan Iran mulai awal bulan ini, akan sangat mempengaruhi pasar komoditas energi dunia. Indonesia juga merupakan negara yang merasakan dampak tersebut.
Energi baru terbarukan dan bauran energi
Istilah energi baru dan energi terbarukan saat ini sering terdengar di kalangan masyarakat. Istilah gabungan di antara keduanya yakni energi baru terbarukan (EBT) juga mulai akrab di telinga kita. Meski sudah mulai familiar, kenyataannya belum banyak masyarakat yang tahu jika energi baru dan energi terbarukan memiliki arti yang berbeda. Berikut ini pengertian energi baru, energi terbarukan beserta jenis-jenisnya.
Energi baru merupakan bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru, baik itu berasal dari energi terbarukan maupun energi tidak terbarukan. Artinya, energi baru dihasilkan melalui teknologi yang baru dan belum banyak dikonsumsi secara publik. Pengelolaannya dan skala-nya rata-rata juga masih dalam tahap pengembangan/penelitian dan masih perlu tahap pengujian kelayakan untuk digunakan secara massal agar masuk dalam skala ekonomis.
Energi terbarukan adalah energi yang bersumber dari alam yang dapat digunakan kembali dengan bebas, mampu diperbarui terus-menerus dan tak terbatas. Penciptaan energi terbarukan dapat melalui perkembangan teknologi sehingga mampu menghasilkan sumber energi alternatif. Sumber energi terbarukan sendiri tidak akan habis karena terbentuk lewat proses alam yang berkelanjutan.
Pemerintah terus menggenjot pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) atau renewable energy sebagai tulang punggung energi nasional. Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% di 2025, sementara pada 2020, bauran EBT mencapai 11,5%. Beberapa contoh EBT adalah : energi surya/matahari, energi bayu/angin, energi panas bumi, energi air, bioenergi, dll.
Menurut Peraturan Presiden No. 79 tahun 2014 target dari bauran Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia pada angka 23% pada 2025. Namun, Dewan Energi Nasional (DEN) mengungkapkan mengingat pencapaian yang sampai dengan 2020 baru mencapai sebesar 11,5%, maka target bauran Energi Baru dan Terbarukan pada 2025 akan direvisi menjadi sekitar 17-19%, turun dibandingkan dengan target sebelumnya sebesar 23%. Lalu, pada 2030 bauran energi primer EBT ditargetkan dapat mencapai 19-21%, pada 2030 sekitar 25-26%, kemudian pada 2040 ditargetkan mencapai 38-41%, hingga pada 2060 mendatang sebesar 70%-72%.
Mengenai pencapaian target bauran energi di 2025 yang kemungkinana bisa tidak tercapai sehingga perlu di revisi, terdapat beberapa faktor penyebab, faktor-faktor tersebut antara lain:
- Peningkatan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas alam, dan batu bara, yang menyebabkan subsidi energi semakin besar.
- Kendala teknis dalam pembangunan pembangkit listrik EBT
- Kendala pembiayaan pembangunan pembangkit listrik EBT
Ketua DEN Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah terus berusaha meningkatkan bauran energi dari sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan dengan menurunkan persentase bauran energi batu bara. Sebagai informasi tambahan, DEN selalu memantau perkembangan persentase EBT dalam bauran energi daerah pada seluruh provinsi. Daerah dengan pencapaian EBT tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (35,83%) dan pencapaian EBT terendah adalah Provinsi Maluku (0,17%). Kegiatan pembinaan dan pemantauan perentase EBT tetap akan dilakukan secara terus menerus.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi krisis energi, khususnya minyak bumi, yang terjadi sejak tahun 1970-an mendapat perhatian yang cukup besar dari banyak negara di dunia. Di samping jumlahnya yang tidak terbatas, pemanfaatannya juga tidak menimbulkan polusi yang dapat merusak lingkungan. Cahaya atau sinar matahari dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel surya atau fotovoltaik.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan energi dari cahaya matahari untuk menghasilkan energi listrik. Pembangkit listrik tenaga surya (fotovoltaik) terdiri dari beberapa komponen supaya berfungsi sesuai dengan yang dibutuhkan. Komponen utama secara umum terdiri dari: solar panel, inverter dan baterai. Dimana solar panel (fotovoltaik) merupakan komponen utama dalam PLTS, berfungsi untuk mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik DC. Inverter merupakan pengubah tegangan searah (DC) dari solar panel menjadi tegangan bolak-balik (AC) untuk mensuplai listrik ke pengguna. Baterai merupakan penyimpan energi matahari setelah menjadi energi Listrik.
Dalam penggunaannya, PLTS terbagi menjadi 3 sistem yaitu sistem off-grid, sistem on-grid, dan sistem hybrid. Sistem off-grid merupakan PLTS yang mandiri karena tidak terhubung oleh pembangkit listrik lain, sehingga pada sistem ini membutuhkan baterai sebagai alat penyimpan energi. Sistem on-grid adalah sistem yang paling umum digunakan oleh pelanggan PLN karena pada sistem ini PLTS terhubung dengan pembangkit listrik lain sebagai back-up. Sedangkan sistem hybrid adalah sistem perpaduan antara sistem on-grid dan off-grid.
Di Indonesia saat ini, sudah terdapat banyak teknologi pembuatan sel surya. Sel surya yang sudah komersil saat ini menggunakan teknologi wafer silikon kristalin yang proses produksinya cukup kompleks dan mahal. Secara umum, pembuatan sel surya konvensional diawali dengan proses pemurnian silika untuk menghasilkan silika solar grade (ingot), dilanjutkan dengan pemotongan silika menjadi wafer silika. Selanjutnya wafer silika diproses menjadi sel surya, kemudian sel-sel surya disusun membentuk modul surya. Tahap terakhir adalah mengintegrasi modul surya dengan BOS (Balance of System) menjadi sistem PLTS. BOS adalah komponen pendukung yang digunakan dalam sistem PLTS seperti inverter, batery, sistem kontrol, dan lain-lain.
Sayangnya secara teknologi, industri photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya sendiri masih impor. Padahal sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS. Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya.
Hal inilah yang menjadi tantangan agar PLTS bisa lebih berkembang dengan cepat sebagai salah satu alternatip penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya agar mampu bersaing dengan sumber energi lain.
Potensi PLTS di Indonesia
Menurut data Kementerian ESDM, potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp. Namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 143K/20/MEM/2019 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Tahun 2019-2038, ESDM memproyeksikan rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional mencapai 6,9% per tahun. Seiring dengan meningkatnya populasi manusia, krisis listrik sangat mungkin terjadi.
Ditambah lagi dengan peningkatan harga bahan bakar dan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik konvensional dalam jangka waktu yang panjang sehingga cadangannya juga semakin menipis. Krisis listrik ini harus menjadi perhatian semua masyarakat karena jika tidak diantisipasi krisis ini akan semakin cepat terjadi. Ditambah lagi dengan mahalnya biaya energi yang harus di bayar oleh rumah tangga maupun industri, dimana tingkat kenaikan rata2 dapat mencapai 9,7% per tahun.
Penyebabnya sendiri bisa diakibatkan berbagai faktor, namun yang paling berperan dalam kenaikan tarif listrik adalah harga bahan bakarnya. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada tingkat perekonomian dan juga tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain dengan cara yang lebih bijak dalam pemakaian listrik, beralih menggunakan energi baru dan terbarukan dengan pemasangan panel surya dapat menjadi solusi untuk penghematan listrik. Kenaikan listrik konvensional atau listrik dari PLN ini sangat besar terutama bagi yang non subsidi.
Energi dari panel surya bisa dijadikan sebagai energi alternatif untuk mengatasi kenaikan harga listrik konvensional dan juga non subsidi. Energi utamanya berasal dari energi matahari yang bisa di dapatkan secara gratis. Secara letak geografis, Indonesia berada di garis khatulistiwa, sehingga Indonesia sangat kaya akan sumber energi surya dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayah Indonesia.
Jika kita bisa memaksimalkan penggunaan energi surya sebagai sumber energi alternatif bagi listrik untuk instansi, perindustrian sampai dengan rumah tangga, kita akan dapat menghemat tagihan Listrik, akan dapat mengalokasikan dana yang kita simpan dari penghematan listrik untuk keperluan yang lainnya. Fakta di lapangan mengatakan bahwa tagihan listrik bisa berkurang sampai dengan 50% dengan menggunakan teknologi panel tenaga surya.
Sayangnya ditinjau dari besarnya investasi, investasi awal untuk memasang PLTS relatif lebih mahal jika dibandingnkan dengan menggunakan/memasang listrik konvensional. Walaupun dengan menggunakan PLTS tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar rekening listrik bulanan, namun diperlukan biaya operasional yang relatif besar untuk perawatan dan atau penggantian unit, terutama penggantian baterai, dimana baterai ini berfungsi untuk penyimpan energi. Baterai ini harganya masih relatif mahal dan technical life time nya masih terhitung pendek jika dibandingkan dengan harganya. Inilah sebagian tantangan untuk pengembangan PLTS di masa mendatang di Indonesia.
Walaupun potensi PLTS sangat besar utk dikembangkan di Indoensia, namun berdasarkan data dari DEN, persentase bauran energi tertinggi 2023 masih didominasi batubara sebesar 40,46%, minyak bumi 30,18%, gas bumi 16,28% dan yang paling kecil adalah EBT sebesar 13,09%, dengan perkembangan dari 2015 sampai dengan 2022 sbb :
Dari porsi EBT yang sebesar 13,09% tersebut, paling besar merupakan pembangkit Listrik Tenaga Air yakni sebesar 58%, lalu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi sebesar 40%, baru sisanya merupakan Pembangkit Listrik terbarukan yang lain termasuk Tenaga angin dan Tenaga Surya, yakni sebesar 2% saja. Tampak sekali bahwa peran, penggunaan atau pemanfaatan PLTS untuk energi di Indonesia masih sangat kecil yaitu baru sekitar 2% saja.
Lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia ini beriringan dengan pemberian subsidi fosil yang masih terus berjalan sampai saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Detox Development, Repurposing Environmentally Harmful Subsidies (Juni 2023), tercatat Indonesia merupakan negara pemberi subsidi energi fosil terbesar di ASEAN, sekaligus terbesar ke-8 pada skala global pada 2021.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, terdapat persoalan sistemik dalam mencapai target bauran energi terbarukan pada 2025. Hal ini berkaca dari perkembangan energi terbarukan yang setiap tahun perkembangannya tidak begitu signifikan. Salah satu persoalan sistemik tersebut yakni subsidi energi fosil.
“Subsidi energi fosil ini memberikan insentif kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tetap mempertahankan operasi PLTU sehingga biaya listriknya menjadi murah. Adanya subsidi energi fosil membuat harga listrik PLTU tidak mencerminkan harga sebenarnya. Di sisi lain, sebenarnya harga energi terbarukan sudah semakin kompetitif, tetapi tidak bisa masuk ke dalam sistem PLN karena masih banyak bahan bakar PLTU yang disubsidi,” ujar Fabby di program acara Energy Corner CNBC Indonesia berjudul “Energi Fosil Masih Disubsidi, Bauran EBT 23% di 2025 Sulit Tercapai?” pada Selasa (16/1/2024).
Dalam pembangunan dan pemanfaatannya, PLTS secara teknis lebih fleksibel dan lebih mudah untuk di kembangkan, karena bisa dipasang secara mandiri untuk keperluan Rumah Tangga, perkantoran maupun untuk industri. PLTS bisa di pasang lebih fleksibel, bisa di pasang baik di daratan, di atas air maupun diatas atap/rooftop. PLTS yang bisa dipasang di daratan atau bisa disebut dengan PLTS Daratan, dipasang diatas Atap Gedung/Rumah, biasa disebut dg PLTS Atap dan PLTS Terapung, yang biasa dipasang di atas permukaan air biasa disebut dengan PLTS Terapung.
Indonesia baru saja menunjukkan komitmennya pada dunia untuk mengembangkan energi baru terbarukan, ditandai dengan diresmikannya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung atau Floating Solar PV Cirata berkapasitas 192 Mega Watt Peak (MWp) pada Kamis (09/11/2023) oleh Presiden Joko Widodo. Presiden menyebut, peresmian operasional PLTS Terapung Cirata sebagai hal yang bersejarah karena mimpi besar Indonesia membangun pembangkit EBT dalam skala besar akhirnya bisa terwujud. Bahkan, Presiden menyebut, PLTS Terapung Cirata ini sebagai PLTS Terapung terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dan terbesar nomor tiga di dunia. Memang adanya PLTS Cirata dan kemungkinan tambahan kapasitas hingga 500 MWp akan berkontribusi signifikan.
Di tambah juga, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) bersama dengan PT PLN juga telah melaksanakan acara peletakan batu pertama (groundbreaking) PLTS sebesar 50 Megawatt peak (MWp) di Nusantara. Peletakan batu pertama dilakukan langsung oleh Presiden pada Kamis (2/11/2023). “PLTS ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menyiapkan sistem kelistrikan yang andal, yang berbasis pada ramah lingkungan untuk pemenuhan listrik di IKN, pemanfaatan EBT selaras dengan konsep IKN sebagai ibu kota yang berkonsep forest city.”
Pembangunan PLTS ini juga dapat menjadi momentum bagi Otorita IKN dan PLN untuk menyukseskan pembangunan IKN. Pengembangan PLTS akan dilakukan pada lahan seluas 80 hektare dilakukan di kawasan IKN Selatan, kawasan yang dikhususkan oleh Otorita IKN sebagai pusat pengembangan energi baru terbarukan. “Dengan adanya solar farm atau kebun panel surya ini sebagai simbol renewable energy di indonesia yang akan menjadi “the future energy” dari IKN Nusantara kedepannya,” ungkap Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono dalam laporannya kepada Presiden, saat pelaksanaan groundbreaking tersebut
Namun demikian, apa yang sudah dilakukan dengan Pembangunan PLTS di lokasi IKN serta PLTS terapung di Cirata itu saja masih belum cukup dan masih cukup jauh untuk mencapai target EBT. Masih diperlukan kerja keras untuk bisa mencapai target bauran EBT tahun 2025 sebesar 23%.
Budi Wiyono, Anggota PAP - KPBU (Perhimpunan Ahli Professional - Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), Praktisi Bidang Efisiensi dan Energi Baru Terbarukan