Jakarta, Gatra.com - Pengamat Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana melihat program makan siang gratis yang digagas oleh pemenang Pilpres 2024 merupakan upaya mengkonkretkan kehadiran negara dalam mencetak jiwa raga generasi masa depan Indonesia yang kokoh.
Diketahui bahwa Komisi Pemilihan umum (KPU), dalam sidang pleno yang lalu telah menetapkan pasangan Presiden Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran dengan perolehan suara lebih dari 96 juta jiwa atau hampir mendekati 59% dari total pemilih.
"Sebuah adagium mensana in corpore sano, berarti dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, menandakan menggunakan instrumen negara untuk memastikan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas gizi pangan warga negara adalah keharusan," katanya dalam keterangan yang diterima pada Minggu (28/4).
Menurutnya, membangun tubuh atau raga yang sehat merupakan pondasi utama untuk menghasilkan masyarakat yang produktif, cerdas, berjiwa kuat, dan memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang.
Dina mengingatkan, Indonesia masih dalam kategori kelaparan moderat, sebagaimana Global Hunger Index (GHI) tahun 2022 yang merilis data negara-negara dengan tingkat kelaparan tertinggi, Indonesia berada di rangking 77 dari 121 negara yang diteliti, bahkan lebih buruk dari Negara Laos.
"Indonesia belum masuk pada fase kelaparan rendah. Artinya kemiskinan, stunting, tingkat gizi, penyakit, kecerdasan, produktivitas dan lain-lain masih menjadi polemik yang menggurita," bebernya.
Dina Hidayana menekankan, keinginan memberikan stimulus gizi berupa makan siang gratis bagi pelajar Indonesia, merupakan program strategis yang perlu dilengkapi dengan perbaikan tata kelola terintegrasi hulu ke hilir.
"Bukan saja sebagai upaya serius pembenahan sektor pertanian dalam makna luas untuk memastikan bahan baku makan siang dapat bertumpu pada kemampuan pertanian lokal, sekaligus membudayakan kembali selera pangan lokal atau Political Gastronomy dalam variasi menunya," ujarnya.
Beberapa penelitian terbaru yang mengkaji tentang preferensi generasi kekinian terhadap makanan menunjukkan signifikansi pergeseran dari selera tradisional ke modern. Misalnya makanan impor lebih diminati dibandingkan jenis lokal karena alasan persepsi, trend perilaku, faktor sosial kultural pergaulan dan kurangnya internalisasi atau sosialisasi panganan lokal pada generasi muda.
Lebih lanjut Dina memprediksi bagaimana jika kaum muda lebih menyenangi panganan asing dengan meminggirkan makanan khas tradisional Indonesia, maka kearifan lokal, terkhusus dalam hal pangan, dipastikan cepat atau lambat budaya pangan kita semakin hilang dari Bumi Pertiwi.
"Kedaulatan dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia akan sekedar menjadi catatan sejarah. Akulturasi maupun internalisasi produk ataupun budaya asing jangan sampai menghilangkan keIndonesiaan kita," tegas Dina.
Dina Hidayana mencontohkan, ironi propaganda untuk menghilangkan budaya makan nasi dari menu sehat bangsa Indonesia merupakan kesalahkaprahan yang tidak boleh diteruskan. Diketahui secara turun temurun sejak masa nusantara, Indonesia telah dikenal sebagai negara agraris dengan budidaya Padi sebagai sektor andalan.
Beras yang menjadi produk tanaman Padi dapat dilihat bukan sebagai komoditi belaka namun menjadi bagian penting dari nilai-nilai kultural dan agregasi bangsa yang berjiwa gotong royong.
"Budidaya padi secara menyeluruh dengan tradisi-tradisinya, mulai dari penanaman hingga pasca panen masih perlu dipandang sebagai warisan budaya dan kearifan lokal," tuturnya.
Selain itu, Dina menganggap hal tersebut merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur nenek moyang yang bernilai historis-kultural yang perlu diwariskan pada generasi masa kini dan mendatang.
Dina menyarankan pemanfaatan political gastronomy dengan mensosialisasikan kembali panganan lokal yang ramah di lidah dan menarik selera anak muda masa kini, untuk dijadikan landasan dalam penerapan program makan siang gratis oleh Pemerintah yang baru nantinya.
"Generasi kekinian, terkhusus Pelajar Indonesia, akan dipertontonkan secara kongkrit kehadiran negara dalam mengurus hak fundamental warganya," terangnya.
Program makan siang vs political gastronomy diyakini akan memantik masifnya budidaya pertanian yang berkarakteristik lokal, tingkat gizi masyarakat yang dapat dikontrol, meminimalisir importasi pangan serta sekaligus menjaga nilai-nilai tradisional sebagai bagian penting dari jati diri bangsa Indonesia.
Untuk itu, Dina mengemukakan bahwa Program pemerintah apapun harus sejalan dengan optimalisasi kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki, dengan meminimalisir importasi yang telah menggurita dan membelenggu kedigdayaan bangsa ini.
"Dengan demikian, maka seluruh kinerja pemerintah akan berujung pada Indonesia yang berdaulat, kokoh jiwa raga masyarakat dengan terciptanya generasi unggul yang berbudaya," katanya.