Jakarta, Gatra.com - Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Jabodetabek didukung oleh Dewan Perwakilan Nasional SINDIKASI menggelar “Konsolidasi May Day dan Diskusi Publik: Kerja Budaya antara Seniman dan Kelas Pekerja”, di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Dalam diskusi tersebut, Pembuat Dokumenter, Wulan Putri mengatakan kondisi kerja layak di industri kreatif dan pekerja budaya masih jauh dari impian. Salah satu yang disoroti Putri adalah praktik dalam proses produksi film dokumenter. Menurutnya, dalam proses produksi dokumenter, dirinya dan rekan seprofesi lain kerap mengisi lebih dari satu posisi secara bersamaan, mulai dari produser hingga sutradara.
Kondisi ini menurut Putri terjadi lantaran pihak pemberi dana atau kerja hanya memasukkan unsur keluaran atau produk jadi dalam proses produksi, bukan tenaga kerja yang dilibatkan. “Belum lagi bagi perempuan. Pekerja film dokumenter perempuan masih harus menanggung beban ganda mengurus domestik, dan juga mengisi berbagai posisi di produksi dokumenter,” ujar Putri.
Situasi yang disampaikan Putri, kerap membuat pekerja mengalami overwork atau kerja berlebihan. Sebagai gambaran pada 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menemukan lebih dari sepertiga pekerja ekonomi kreatif Indonesia mengalami overwork karena bekerja lebih dari 48 jam setiap pekan.
Survei #SepakatDi14 yang dilakukan SINDIKASi bersama Indonesia Cinematographer Society (ICS) juga menemukan rata-rata pekerja film bekerja selama 16-20 jam dalam satu hari syuting.
Padahal, menurut Badan kesehatan dunia WHO bekerja melebihi 55 jam setiap pekan karena berisiko tinggi meninggal akibat penyakit stroke dan penyakit jantung iskemik. Di tengah situasi tersebut, Perwakilan ruangrupa dan Gudskul Ekosistem, Daniella F. Praptono menyampaikan sejumlah pekerja seni dan budaya telah mengupayakan membangun kolektif untuk menciptakan kerja yang lebih berkeadilan.
Meski demikian, Ia juga menggarisbawahi upaya membangun kolektif kerja bagi pekerja seni dan budaya juga tidak selalu mudah. “Ruang yang kita saat ini masih belum ideal. Saat ini ruang yang kita praktekkan itu seperti lumbung, tempat untuk sharing knowledge, dan ini masih belum ideal pasti akan ada saja yang tidak bisa sustain saat ini. Tapi praktik itu yang kita coba usahakan,” kata Daniella.
Ketua Umum SINDIKASI Ikhsan Raharjo mengatakan, situasi kerentanan yang dialami pekerja budaya dan kreatif terjadi salah satunya karena minimnya perlindungan dari sisi regulasi. Ikhsan menyebut, regulasi ketenagakerjaan Indonesia saat ini masih sangat bias industri manufaktur. Regulasi tersebut belum bisa menjawab tantangan ketenagakerjaan bagi pekerja media, budaya, dan industri kreatif.
Singkatnya, meski berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, pemberi kerja dan pemerintah belum menganggap pekerja budaya dan kreatif sebagai pekerja. Padahal, data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang diolah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada 2022 kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai Rp1280 triliun. Kontribusi tenaga kerja sektor ekonomi kreatif di tingkat nasional pun pada 2022 mencapai 17,7 persen.
“Kita sadar situasi kerja kita sedikit berbeda dengan serikat manufaktur yang bekerja satu atap walaupun memiliki kondisi kerentanan yang tidak jauh berbeda. Oleh sebab itu perlu banyak kreativitas dalam melakukan tekanan-tekanan lewat media, dan tentu juga turun aksi juga bisa dipakai sebagai salah satu cara. Kita perlu terus bereksperimen dan jangan pernah takut berimajinasi.” ujar Ikhsan.
Dalam sambutan pembuka, Sekretaris Wilayah SINDIKASI Jabodetabek Julia Nur Rochmah menyebut berbagai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku saat ini belum cukup untuk meningkatkan daya tawar pekerja di hadapan pemberi kerja sehingga serikat dibutuhkan.
“Akan lebih sulit menghadapi kerentanan yang dialami semua kelas pekerja termasuk pekerja budaya jika kita sendirian. Untuk itu akan mari kita hadapi bersama dengan berserikat.” ungkap Julia.
Tahun ini, untuk pertama kalinya, SINDIKASI akan menggelar aksi May Day untuk memperingati Hari Buruh Internasional di lima kota yakni, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar.