Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan akan membebankan biaya pemulihan lingkungan yang ditaksir mencapai Rp271 triliun akibat penambangan ilegal kepada korporasi yang diduga terlibat.
“Recovery lingkungan yang harus dibebankan kepada pelaku sehingga ke depan juga akan dibebankan kepada pelaku korporasinya,” kata Febrie Ardiansyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dalam keterangan pada Rabu (24/4).
Ia menegasan, kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara semata. Ini sesuai dengan tujuan recovery asset dan lingkungan harus dibebankan kepada pelaku.
Ia menjelaskan, dalam kasus tindak pidana korupsi eksplorasi timah secara ilegal, tentu dampaknya diperhitungkan sebagai bagian dari perekonomian negara dan bukan semata-mata hanya untuk recovery asset atau mengembalikan hak negara dari timah yang diambil secara ilegal sebagai uang pengganti.
Penegakan hukum ini lebih menitikberatkan pada perbaikan atau rehabilitasi kepada pelaku korupsi yang dituntut agar bertanggung jawab atas kerusakan yang timbul, termasuk dampak ekologinya kepada masyarakat sekitar.
Febrie juga menyampaikan, Kejagung mengupayakan agar pengusutan dan penyitaan 5 smelter timah milik lima perusahaan dan 53 unit ekskavator serta dua unit bulldozer tidak berdampak terhadap keryawan perusahaan tersebut.
Menurut Febrie, Tim dari Pidsus dan Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejagung berurpaya agar pernyitaan aset-aset tersebut tidak berdampak kepada karyawan dan masyarakat.
Ia menjelaskan, penyitaan dan proses hukum terkait kasus dugaan korupsi timah tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencari solusi agar masyarakat bisa bekerja serta pendapatan negara juga tidak terganggu.
“Beberapa proses yang dilalui tentu akan mengakibatkan dampak negatif kepada masyarakat dan pekerja. Tetapi, hal itu hanya bersifat sementara,” ujarnya.
Terkait upaya tersebut, lanjut Febrie, pihaknya telah mengumpulkan stakeholder terkait, termasuk pemerintah daerah Kepulauan Bangka Belitung (Babel), dan PT Timah Tbk. sebagai bukti menunjukkan betapa seriusnya kejahatan yang dilakukan pada perkara dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022 yang sedang ditangani ini.
Lebih lanjut Febrie menjelasan, pengusutan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang terkait timah ini juga bukan semata-mata untuk menghentikan proses eksplorasi timah oleh masyarakat yang mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaannya.
Ia menegaskan, yang perlu dipahami bahwa proses penegakan hukum ini untuk menuju tata kelola pertimahan ke depan menjadi lebih baik. Penindakan juga untuk kepentingan pengembalian dan pemulihan lingkungan seperti semula walaupun dengan dampak yang begitu luas dan menghabiskan biaya yang besar.
“Jampidsus juga berupaya membangun tata kelola pertimahan sebagai bagian dari manajerial BUMN menjadi lebih baik,” katanya.
Menurut Febrie, dengan upaya tersebut, pendapatan atau hak negara menjadi lebih terukur. Tak hanya itu, tata kelola yang baik akan mewujudkan iklim investasi yang baik juga, yang tentunya juga menjadi harapan semua orang.
Dalam kasus megakorupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015–2022,Kejagung telah menetapkan 16 orang tersangka, yakni:
1. Suwito Gunawan (SG) alias AW selaku Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP).
2. MB. Gunawan (MBG) selaku Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP).
3. Hasan Tjhie (HT) alias ASN selaku Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa (CV VIP). CV ini perusahaan milik tersangka Tamron alias AN.
4. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016–2021.
5. Emil Ermindra (EE) alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017–2018.
6. Kwang Yung (BY) alias Buyung (BY) selaku Mantan Komisaris CV VIP.
7. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS
8. Tamron (TN) alias Aon selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN.
9. Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional tambang CV VIP.
10. Toni Tamsil (TT), tersangka kasus perintangan penyidikan perkara korupsi timah.
11. Rosalina (RL), General Manager PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN).
12. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT Rifined Bangka Tin (PT RBT).
13. Reza Adriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Rifined Bangka Tin (PT RBT).
14. Alwin Albar (?ALW) selaku mantan Direktur Operasional (Dirops) dan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Tbk.
15. Helena Lim (HLN), Manager PTQuantum Skyline Exchange (PTQSE).
16. Harvey Moeis (HM)?, perwakilan PT Refined Bangka Tin (PT RBT). Dia tersangka korupsi dan pencucian uang.
Ahli lingkungan dan akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang Hero Saharjo, menyampaikan, kasus ini mengakibatkan kerugian lingkungan (ekologis) sebesar Rp183.703.234.398.100 (Rp183,7 triliun), kerugian ekonomi lingkungan Rp74.479.370.880.000 (Rp74,4 triliun), dan biaya pemulihan lingkungan Rp12.157.082.740.000.
“Totalnya akibat kerusakan tadi itu yang juga harus ditanggung negara Rp271.069.688.018.700 (Rp271 triliun),” ujarnya.
Kejagung menyangka mereka melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.