Kuala Lumpur, Gatra.com – Setelah jeda sejenak, Ringgit Malaysia (MYR) kembali tertekan dan hampir diperdagangkan di angka 4,8 terhadap satu Dolar Amerika (USD). Center for Market Education (CME) menyatakan kembali melemahnya mata uang MYR terutama disebabkan oleh dua faktor eksternal.
Pertama, data inflasi Amerika yang lebih tinggi dari perkiraan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga FED lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama. Hal ini memperpanjang perbedaan suku bunga antara Malaysia dan Amerika Serikat (AS) dan mendorong arus keluar modal ke pasar Amerika.
Kedua, ketegangan geopolitik yang berkepanjangan, khususnya di Timur Tengah, mendukung keberadaan mata uang yang diakui sebagai cadangan nilai yang lebih andal atau yang dikenal dengan istilah greenback.
“Saya percaya jiwa wirausaha di Asia Tenggara biasanya cenderung lebih berhati-hati dibandingkan di belahan dunia lainnya. Karena itu, iklim ketidakpastian secara umum membuat investor dan wirausahawan melakukan pendekatan wait and see untuk waktu yang lebih lama,” ujar CEO CME Dr. Carmelo Ferlito.
Menurut CME, Bank Negara Malaysia bertindak ke arah yang benar, mencoba menjaga keseimbangan antara dinamika harga, perilaku ringgit, dan potensi risiko perlambatan ekonomi global. Secara khusus, lanjut Carmelo, pernyataan bank sentral Malaysia perlu didukung.
“Sebagaimana dinyatakan oleh Gubernur Abdul Rasheed Ghaffour, Bank Negara Malaysia (BNM) terus mengadvokasi reformasi struktural yang penting untuk memperkuat prospek pertumbuhan Malaysia dan mendorong investasi untuk memberikan dukungan yang lebih tahan lama terhadap ringgit,” kata Carmelo.
Hal kedua, BNM tidak mempertimbangkan pengendalian atau pembatasan modal seperti yang diberlakukan selama Krisis Keuangan Asia, dengan mempertimbangkan potensi biaya dan dampaknya terhadap perekonomian, sebagaimana diklarifikasi oleh Deputi Gubernur BNM Adnan Zaylani Zahid.
CME secara positif meyakini bahwa BNM tidak akan menerapkan pengendalian modal, karena tindakan tersebut akan semakin menghambat usaha kewirausahaan di negara tersebut. CME juga setuju dengan keutamaan reformasi struktural dibandingkan kebijakan moneter, ketika bertindak di dalam negeri guna mendukung mata uang dengan mendorong kebangkitan semangat kewirausahaan. Menurut CME, reformasi tersebut diperlukan untuk mendorong dunia usaha dengan membangun ekosistem yang menguntungkan dari sudut pandang kelembagaan, keuangan dan fiskal.
Mengingat fakta bahwa Ringgit bukan satu-satunya mata uang Asia yang mengalami tekanan (Rupiah Indonesia berhasil menembus batasan psikologis Rp16.000 terhadap USD untuk pertama kalinya dalam empat tahun), Center for Market Education mengundang bank sentral ASEAN ke tingkat yang lebih tinggi untuk membangun kerja sama untuk menunjang daya beli masyarakatnya.
Mengingat ketidakmungkinan institusional untuk mengadopsi solusi yang diinginkan seperti kembali ke standar emas atau memperkenalkan persaingan bebas antar mata uang dalam batas negara, CME menyarankan reformasi dua hal berikut. Pertama, mengupayakan penerapan mata uang ASEAN yang Bersatu. Kedua, mengadopsi unit hitung ASEAN yang didasarkan pada sekumpulan barang, bukan hanya sekedar satu.
Argumentasi tersebut berdasar pada pandangan Profesor Jesus Huerta de Soto (Universitas King Juan Carlos, Madrid, Spanyol) di mana ketika negara-negara berbeda mengadopsi mata uang yang sama, mereka kehilangan kemungkinan memanipulasi mata uang lokal mereka dengan menempatkannya untuk melayani kebutuhan politik saat itu. Dalam hal ini, mata uang ASEAN akan bertindak seperti standar emas pada masanya.
Singkatnya, mata uang yang bersatu akan menghindari perilaku tidak bertanggung jawab di masing-masing negara. Selain itu, mata uang tersebut harus bertujuan untuk bersaing dengan USD dan Euro sebagai cadangan nilai yang memiliki reputasi baik.
Pandangan kedua dikemukakan oleh Warrant Coats (seorang ekonom yang pernah bekerja di Dana Moneter Internasional) dan mendiang Leland B. Yeager (Auburn University, University of Virginia) yang menyampaikan dalam penciptaan mata uang ASEAN, pemisahan unit hitung dan alat tukar, dengan terciptanya unit hitung yang didukung oleh sekeranjang banyak barang (bukan emas saja). Yang diperlukan hanyalah uang bank dapat ditukarkan dengan aset yang dapat dipasarkan yang memiliki nilai pasar saat ini yang setara dengan nilai unit rekening.
Uang kertas baru bank sentral dapat digunakan sebagai cadangan (uang dasar) untuk sistem perbankan yang kompetitif. Satuan hitung akan didefinisikan sebagai jumlah tertentu dari sejumlah besar barang dan jasa (misalnya, keranjang indeks harga konsumen atau CPI)). Uang akan berdenominasi dalam Valun dan uang kertas satu Valun (uang kertas) akan dapat ditukarkan di bank sentral dengan aset lain yang bernilai satu Valun, seperti: surat utang negara yang memiliki nilai yang jelas dan ditentukan pasar dari Valun. Hal ini akan meningkatkan stabilitas nilai mata uang baru.
Kesimpulannya, di tengah kesulitan mata uang negara-negara berkembang saat ini, CME menyetujui seruan BNM untuk melakukan reformasi struktural dan posisi BNM terhadap kontrol modal. Lebih lanjut, CME mengundang kerja sama yang lebih mendalam antar bank sentral regional untuk merancang sistem moneter baru dengan mata uang terpadu, yang bertujuan untuk bersaing dengan USD dan Euro.
“Mata uang tersebut harus didasarkan pada standar komoditas baru, dengan mengadopsi unit hitung berdasarkan sekumpulan banyak barang,” pungkas Carmelo.