Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mendukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR karena tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat.
“APHA terpanggil oleh teman-teman yang sudah di lapangan. Kami para akademisi juga ikut peduli memberi dukungan,” kata Yamin S.S., S.H., M.Hum, M.H., Ketua Bidang Advokasi APHA Indonesia di Jakarta, Senin (1/4),
Ia menjelaskan, guna mendukung gugatan Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overdracht daad) dan telah memasuki tahap pembuktian, APHA mengambil posisi sebagai sahabat pengadilan (amicus curae).
“Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia mengimbau agar DPR dan Presiden Republik Indonesia segera membentuk Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat,” ujarnya.
APHA Indonesia menyatakan dukungan kepada AMAN dalam malawan presiden dan DPR karena memperhatikan Pasal 5 Ayat (1) dan 20 Ayat (1) UUD Republik Indonesia yang memberikan atribusi kekuasaan eksekutif dan legislatif serta preskripsi kewenangan dalam membentuk UU.
“Pasal 18B Ayat (2) UUD Tahun 1945, menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Dosen hukum dari Universitas Pancasila (UP) Jakarta ini menjelaskan, sesuai ketentuan tersebut, di anatara mereka itu atau Presiden dan DPR harus berkolaborasi untuk membuat dan mengesahkan UU termasuk RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah lama ngendon di DPR.
“Presidennya tidak bisa secara sepihak keluarkan Perppu kalau political will-nya baik, tinggal sidang berikutnya DPR menilai Perppu-nya bisa diterima menjadi UU. Tapi dua-duanya abai, makanya AMAN menggugat dan kami mendukung sebagai sahabat pengadilan sebagai wujud dukungan bagi para pencari keadilan,” ujarnya.
APHA Indonesia, lanjut Yamin, menilai gugatan atau perlawanan AMAN terhadap DPR dan Presiden ini harus mendapat kukungan seluruh elemen bangsa ini karena banyak masyarakat adat yang tercerabut dari tanah dan wilayah ulayatnya yang sudah ditinggali sebelum Indonesia ada.
“Wilyah mereka diambil jadi hutan lindung, sehingga mereka terlepas dari ruang lingkup hidupnya. Kemudian oleh aparat setempat hutan lindung ditetapkan jadi hutan produksi,” katanya.
Meski sudah banyak masyarakat adat yang menjadi korban perampasan tanah ulayatnya hingga dikriminalisasi, namun DPR dan Presiden tak kunjung mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat.
“Presiden RI telah beberapa kali menetapkan Draft RUU tentang Masyarakat Adat, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” ujarnya.
RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam beberapa prolegnas, yakni:
1. Prolegnas Periode 2005–2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan Nomor Urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan Nomor Urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005–2009.
2. Prolegnas Periode 2009–2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan Nomor Urut 161.
a. Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas 2014, dengan Nomor Urut 26.
b. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 45.
c. Prolegnas Periode 2020–2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan Nomor Urut 160.
d. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas dengan Nomor Urut 22.
“Meskipun telah beberapa kali RUU tentang Masyarakat Hukum Adat dengan beberapa kali perubahan nama yang ditetapkan dalam prolegnas maupun prolegnas prioritas, tetapi sampai dengan saat ini belum disahkan,” katanya.
APHA menilai tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).
“Ini karena tidak melakukan tindakan pembentukan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat hingga penundaan berlarut,” katanya.
Yamin menegaskan, ini juga sebagai bukti bahwa komitmen Presiden dan DPR untuk menuntaskan persoalan dan melindungi masyarakat adat dengan mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat itu sangat rendah.
Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M. Hum., menambahkan, tidak ada alasan bagi DPR dan Presiden untuk menunda atau tidak mengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Terlebih, lanjut Guru Besar Ilmu Hukum pada Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau Declaration on the Rights of Indigeneous Peoples.
“Kita telah meratifikasi. Ini menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat. Saya kira pemerintah wajib hukumnya untuk mengesahkan RUU Hukum Adat,” ujarnya.