Home Pemilu 2024 PHPU Papua Tengah Tinggi, KPU dan Bawaslu Tak Profesional?

PHPU Papua Tengah Tinggi, KPU dan Bawaslu Tak Profesional?

Jakarta, Gatra.com – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo, mengatakan, jumlah gugatan sengketa pemilu atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 bisa lebih tinggi dibanding PHPU Pemilu 2019.

“Kalau secara jumlah, masih banyak sekarang. Dulu 262 [perkara]. Ini prediksinya bisa lebih,” kata Suhartoyo dikutip dari Antara pada Rabu (27/3).

Sementera itu, berdasarkan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Papua Tengah tercatat sebagai provinsi yang paling banyak mendaftarkan PHPU 2024 di MK.

Berdasarkan data Perludem, ada 21 permohonan PHPU dari daerah tersebut yang tengah diajukan ke MK. Angka tersebut sekitar hampir 10% dari total 277 permohonan PHPU yang masuk di MK sebagaimana dilansir Inews.

Adapun di Papua Tengah, hanya sekitar 2 daerah yang melaksanakan Pemilu langsung pada tahun ini. Selebihnya, sekitar 6 daerah, yakni Kabupaten Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Deiyai, dan Dogiyai yang masih menggunakan sistem noken.

Tak hanya itu, saat pelaksanaan Pemilu 2024, terjadi kekerasan horizontal, yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa akibat terjadi saling serang menggunakan panah dan senjata tajam lainnya demi perebutan suara kelompok masyarakat tertentu. Banyak warga tidak setuju Pemilu menggunakan sistem noken.

“Munculnya berbagai masalah dalam pelaksanaan Pemilu bisa diakibatkan kekurangprofesionalan dari penyelenggaranya, yakni KPU dan Bawaslu,” kataI Ihsan Maulana, peneliti dari Perludem.

Harusnya, lanjut dia, untuk provinsi-provinsi baru, KPU RI melakukan supervisi secara langsung, tidak dibiarkan 'main' sendiri. Apalagi faktanya bukan hanya banyak sengketa, tapi juga terjadi pertikaian hingga mengakibatkan jatuhnya korban.

Menurut dia, tingginya anggka sengketa Pemilu di Papua Tengah tersebut menjadi sinyal perlunya dilakukan perubahan dari sistem yang lama (noken) ke pelibatan partisipasi publik secara aktif.

“Warga di sana harus diedukasi guna memberikan suaranya secara langsung sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara. Tidak lagi diwakilkan kepada kepala suku atau yang lainnya,” kata dia.

Selain melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, lanjut Ihsan, perlu menyiapkan penyelenggara dan pengawas pemilu, yanki KPU dan Bawaslu yang profesional. Pasalnya, jika personel KPU dan Bawaslunya amatiran, tak akan terwujud Pemilu yang demokratis, jujur, dan adil.

Pembenahan personel KPU dan Bawaslu di sana merupakan suatu keniscayaan demi memutus persoalan yang kalau dibiarkan bisa menjadi ajang balas dendam. Kalaupun sistem noken mau dipertahankan, pelaksanaannya harus secara transparan, akuntabel, dan membuka ruang keterlibatan publik secara luas.

“Untuk kepentingan jangka panjang, ketentuan sistem noken perlu dibenahi kembali,” ujar Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem.

Dengan demikian, kata dia, setiap keunikan dalam metode pemilihan noken dapat diakomodir secara legal dan dengan standar yang baik. Hak-hak politik setiap warga negara harus dapat dijamin dan dilindungi dalam ketentuan noken.

Titi juga mendukung pembenahan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana Pemilu. Perekrutan dilakukan secara profesional melalui seleksi yang ketat, bukan karena kedekatan atau nepostime.

“Kalau belum memungkinkan penduduk lokal, maka baik KPU provinsi induk maupun KPU RI harus memberikan supervisi secara langsung,” katanya.

Menurut Titi, belajar dari kejadian-kejadian terdahulu, seharusnya dilakukan upaya preventif dari perspektif penyelenggara pemilu dan perspektif kepolisian.

Secara umum, dari 5 provinsi di Pulau Cendrawasih, 3 di antaranya masuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia yang paling banyak melaporkan sengketa Pemilu 2024 ke MK.

Selain Papua Tengah, ada juga Papua dengan 15 sengketa dan Papua Pegunungan (11 kasus). Mereka bergabung bersama Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku Utara, dan Maluku.

84