Pekanbaru, Gatra.com - Seratus tahun. Cukuplah itu menjadi 'siksaan' bagi perjalanan industri sawit Nusantara.
Bahwa sekarang, Indonesia akan menapaki sejarah baru atas minyak sawitnya, itulah yang terus digelorakan oleh Sahat Sinaga. Lelaki 79 tahun yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
Bertandang ke Kantor Bupati Pelalawan, Riau, dua hari lalu, menjadi bagian dari misi itu. Kepada pemerintah di sana, ayah tiga anak ini mengenalkan apa yang disebut dengan Pasteurization.
Sebuah proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) dengan teknologi dry processing tanpa steam. Sahat menyebutnya teknologi Pasteurizing & Degumming Palm Fruit Oil (PaDePFO).
Baca juga: PKS Ramah Lingkungan Bakal Dibangun di Pelalawan
Sebuah proses yang mere-launching Crude Palm Oil (CPO) menjadi Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO). "Ini sama seperti Canada yang mere-launcing Rapeseed menjadi Canola (Canadian Oil ) ," tegasnya.
Dan Sahat mengatakan seperti itu lantaran sesungguhnya Indonesia sudah saatnya mandiri dalam pengembangan kualitas minyak sawit nya, meninggalkan nama sawit jajahan yang merendahkan kualitas sawit dengan mencantumkan kata “Crude” di depan .
"Inilah istilah yang selama ini mendiskreditkan kualitas minyak sawit yang disengaja diistilahkan (perlu dikaji lebih lanjut) untuk merendahkan nilai dari minyak sawit dan celakanya menghasilkan emisi karbon tinggi pula dalam mengolah TBS menjadi CPO," ujarnya.
Padahal kalau dikelola dengan baik, menjadi DPMO, minyak sawit menghasilkan segudang manfaat dan ramah lingkungan pula.
Lebih detil Sahat cerita, teknologi PaDePFO tadi dipastikan menghasilkan karakter minyak sawit yang jauh bernilai tinggi ketimbang CPO. Yang jelas, DMPO stabil terhadap oksidasi.
"Lalu kandungan mikro nutrisinya berkisar 94-98 persen tertinggal didalam DPMO . Emisi karbon yang dihasilkan 78 persen lebih rendah ketimbang yang dihasilkan oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) warisan penjajah itu," terangnya.
Lantaran PaDePFO tidak pakai steam --- uap untuk melunakkan mesocarp --- otomatis tidak akan menghasilkan Palm Oil Mill Effluent (POME).
Itu pula makanya teknologi ini tidak menggunakan air dalam prosesnya, jadinya, pabriknya bisa dibangun di mana saja.
"Lahan untuk lokasi pabrik cuma butuh sekitar 2,5 hektar. Kapasitas produksinya bisa lebih kecil; 10-20 ton TBS per jam. Jadi bisa dibangun dekat kebun rakyat biar ongkos angkut TBS nya rendah," katanya.
Oleh semua kelebihan inilah makanya Sahat mengatakan bahwa inilah masanya Indonesia merubah loyang menjadi emas. "Memang selama ini sesungguhnya sawit itu adalah emas, tapi kita terus dininabobokkan agar sawit itu terus-terusan seolah-olah hanya loyang," ujarnya.
Abdul Aziz