Home Hukum PH SYL Tuduh Jaksa Lindungi Sejumlah Nama dalam Kasus Pemerasan Kementan

PH SYL Tuduh Jaksa Lindungi Sejumlah Nama dalam Kasus Pemerasan Kementan

Jakarta, Gatra.com - Tim penasihat hukum Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melindungi sejumlah pihak yang diduga merupakan pemberi suap. Penasehat hukum menegaskan, pihak pemberi suap juga harus diperiksa dan diadili dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi yang didakwakan kepada SYL.

Penasehat hukum terlebih dahulu memaparkan dakwaan yang telah disampaikan jaksa dalam beberapa persidangan lalu. Dalam dakwaan, SYL disebut memerintahkan setiap direktorat jenderal dan badan di Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menyisihkan 20 persen anggaran mereka untuk diserahkan kepada SYL.

Penasehat hukum tidak menyatakan dakwaan atau dugaan ini adalah hal yang benar. Namun, jika hal ini dipercaya adalah benar (quad non), besaran anggaran sebanyak 20 persen harus diperiksa dan diaudit secara menyeluruh.

“Selain daripada Terdakwa yang dituntut, Pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementan RI yang membantu Terdakwa untuk menyiapkan 20 persen anggaran juga harus dilakukan diperiksa dan diadili,” ucap salah satu penasihat hukum dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/3).

Kuasa hukum berpendapat, jika para Pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementan RI tidak diproses secara hukum, hal ini disebutkan dapat menumbuhkan sikap permisif bagi pihak lain yang berpotensi tinggi menjadi pelaku tindak pidana.

Dalam perkara ini, SYL didakwa melakukan pemerasan kepada para pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementan RI agar mereka menuruti permintaannya untuk menyerahkan sejumlah uang demi memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga SYL. Meski demikian, tim kuasa hukum membantah SYL telah melakukan pemerasan.

Penasihat hukum pun mengutip teori dari pakar hukum pidana, Adami Chazawi terkait dengan perbuatan memaksa. Berdasarkan teori, terdapat dua jenis paksaan, yaitu paksaan yang membuat korban sama sekali tidak bisa melawan, hal ini biasanya berupa paksaan secara fisik. Lalu, ada paksaan secara psikis.

Tim kuasa hukum menilai, terhadap dua jenis paksaan ini perlu dibedakan pertanggungjawaban hukumnya. Mengacu pada Pasal 48 KUHP, terkait daya paksa, korban yang dipaksa dan tidak dapat melawan, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

“Sedangkan, untuk korban yang mendapatkan paksaan psikologis, di mana korban sebenarnya masih memiliki pilihan lain/menolak kehendak pelaku untuk melakukan suatu tindakan pidana, maka dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” lanjut penasehat hukum.

Terlepas dari pihak-pihak yang mungkin merasa tertekan atau terpaksa untuk memenuhi perintah SYL, kuasa hukum menduga ada sebagian pihak yang menjalankan tugas SYL dengan maksud tertentu dan punya tujuan pribadi.

“Misalnya, dalam keterangan saksi Muhammad Hatta dan saksi Kasdi Subagyono menyatakan, melakukannya agar tetap berada pada posisi strategis; agar tidak dimutasi; agar terlihat loyal dan dekat. Sehingga dapat dikonstruksikan sebagai pemberi yang memiliki kepentingan, dan tidak berada dalam posisi 'terpaksa',” jelas kuasa hukum lagi.

Kuasa hukum. mengatakan, jika jaksa tetap memaksakan dakwaan subsider kedua, Pasal 12 huruf f UU Tipikor kepada SYL, jaksa dinilai harus memeriksa sejumlah nama di luar terdakwa yang melakukan perintah SYL dengan maksud dan tujuan tertentu.

Jika hal ini tidak dilakukan, kuasa hukum menilai jaksa akan menimbulkan preseden dan insentif buruk dalam penegakan hukum.

“Sebab Jaksa Penuntut Umum terkesan ‘melindungi’ pihak-pihak lain yang seharusnya turut bertanggung jawab dan memaksakan perkara ini hanya pada Terdakwa dan 2 Terdakwa lainnya,” kata kuasa hukum lagi.

Dalam kasus perkara ini, Jaksa menyebutkan, SYL melakukan pemerasan bersama-sama dengan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta.

Atas tindakannya, SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 tentang UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

53