Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Perlindungan Konsumen dari Universitas Indonesia, Inosentius Samsul menegaskan bahwa pembuktian terbalik merupakan salah satu kekhususan dari sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Hal tersebut ditegaskan Inosentius menanggapi putusan perkara perdata nomor 491/Pdt.G/2023/PN JKT. SEl. Perkara ini merupakan sengketa antara Pelanggan Toyota bernama Elnard Peter dengan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT. Toyota Astra Motor dan PT. Astra Internasional di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hakim pun mengesampingkan beban pembuktian kepada pelaku usaha. Padahal hal ini telah diatur pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
"Pasal 28 terkait dengan gugatan perdata dimana beban pembuktian untuk menyatakan apakah benar dan salah atau soal unsur kesalahan itu dibebankan kepada pelaku usaha," tegas Inosentius dalam keterangan yang diterima, Kamis (7/3/2023).
Sejatinya kata Inosentius, pasal tersebut wajib diterapkan di pengadilan ketika konsumen mencari keadilan. "Sebab kalau tidak diterapkan sistem pembuktian seperti itu, maka sudah dipastikan konsumen akan kesulitan membuktikan kesalahan dari pihak pelaku usaha," tegasnya.
Apalagi kata Inosentius, konsumen memiliki keterbatasan informasi berkaitan dengan spesifikasi ataupun karakter dari suatu produk maka itu beban pembuktian dialihkan kepada pelaku usaha itu sendiri. Pasal 28 tersebut yang mengakomodir keberadaan konsumen. Apalagi kesalahan sifatnya subyektif.
“Saya pikir ini wajib hukumnya sehingga harus menjadi acuan yang diterapkan dalam setiap perkara yang berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen," jelasnya.
Lanjut Inosentius, kalau majelis hakim tetap menggunakan konsumen yang membuktikan, maka sampai kapanpun tidak akan ada sengketa yang memenangkan konsumen.
"Jadi kalau hakim sudah menggunakan rezim sengketa perlindungan konsumen di pengadilan, maka hakim harus siap mengikuti berbagai ketentuan khusus yang ada dalam UU No. 8 Tahun 1999," tegasnya.
Inosentius juga meminta kepada Majelis hakim tidak mengesampingkan pendapat para ahli hukum perlindungan konsumen. Kehadiran saksi ahli untuk meluruskan penerapan hukum formil. Kasus perdata No. 491, hakim telah salah menerapkan hukum.
"Hakim masih menggunakan cara sidang perdata umum. Enggak boleh. Padahal itu kan antara konsumen dan pelaku usaha. Itu sebenarnya poinnya. Jadi tindakan yang lebih keliru lagi dari majelis hakim ketika ternyata ada ahli yang sudah menyampaikan seperti itu diabaikan. Berartikan menurut saya kesalahan penerapan hukumnya fatal," tegasnya.
Inosentius menduga, hakim yang mengesampingkan bukti repair manual yang ditetapkan oleh pihak Prinsipal Pelaku Usaha yaitu Toyota Motor Corporation, Jepang menunjukkan bahwa hakim tersebut sangat awam bahkan kurang memahami konstruksi hukum untuk perlindungan konsumen.
"Jadi untuk membuktikan bahwa ada persoalan produk, sebenarnya dari Repair Manual produk sudah cukup. Jadi membuktikan suatu produk itu bermasalah, atau cacat lihat saja spesifikasi produknya. Kalau Manual misalnya menyatakan ukurannya 30 cm, tiba-tiba alatnya cuma 27 cm, itu jelas masalah. Itu tidak bisa dibantah lagi. Sebenarnya salah satu pembuktian yang kuat, kita lihat saja di alat itu, suku cadangnya," tegasnya.
Untuk itu dia meminta hakim pada Pengadilan Tinggi (PT) yang mengadili pada tingkat banding supaya bisa mengevaluasi dan menyatakan bahwa putusan pengadilan tingkat sebelumnya itu salah menerapkan aturan.
"Misalnya spesifikasi produknya diperhatikan, beban pembuktian kepada Pelaku Usaha diterapkan, kemudian Repair Manual menjadi acuan pembuktian, mestinya hakim mendasarkan pada itu. Bukannya dikesampingkan," jelasnya.
Kalaupun bukti pada tingkat pertama terlihat sumir kata Inosentius, Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bisa mengacu pada bukti baru di mana jutaan unit produk Toyota alami “Massive Global Recall” atau penarikan massal yang melibatkan jutaan unit secara global.
"Artinya ini menjadi novum, hal baru untuk menyakinkan hakim ini loh ternyata memang bermasalah ini. Hakim harus bisa melihat fakta bahwa memang ternyata permasalahan ada bahkan secara sukarela perusahaan-perusahaan menarik itu. Itu kan menunjukan produk otomotif bermasalah. Sebenarnya itu juga dalam bahasa hukumnya the fact talks itself," bebernya.
Selain itu kata Inosentius, pengadilan tidak boleh membatasi hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum banding dengan menyerahkan putusan pada waktu yang mepet.
"Itu kan mempermainkan hukum. Mempermainkan aturan. Jadi tindakan pengadilan seperti itu menurut saya sangat mengganggu wibawa atau menyentuh integritas lembaga dalam menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan seharusnya mereka lakukan," tukasnya.