Home Hukum Amstrong Sembiring: Putusan Pengadilan Imperium Hukum, Jangan Serampangan

Amstrong Sembiring: Putusan Pengadilan Imperium Hukum, Jangan Serampangan

Jakarta, Gatra.com – Kuasa hukum Haryanti Sutanto, JJ Amstrong Sembiring, mengatakan, putusan pengadilan merupakan imperium hukum sehingga hakim tidak boleh ceroboh dan serampangan dalam memutus suatu perkara.

JJ Amstrong menyampaikan pernyataan tersebut dalam keterangan tertulis pada Rabu (6/3), mengomentari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor: 1221/PDT.G/2023/PT.DKI, tertanggal 11 Desember 2023.

Putusan perkara antara Haryanti Sutanto melawan Soejarni Sutanto, Soehardjo Hadie Widyokusumo, dan Kementerian ATR/BPN Cq tersebut menurut Amstrong ceroboh dan serampangan.

Menurutnya, majelis hakim dalam penyusunan pertimbangan perkara a quo yang kemudian dimohonkan kasasi tersebut ceroboh (onzorgvuldig) dan lalai (onachtzaam) karena terdapat banyak kesalahan, di antaranya terdapat nama Benny Fernando sebagai salah satu kuasa hukum dari pihak pemohon kasasi yang tidak terdapat dalam memori banding.

Ia menyampaikan, dalam surat kuasa khusus dari pemohon banding tertanggal 21 Juli 2023 hanya menuliskan 2 nama yang menjadi tim advokat pemohon banding, yaitu J.J Amstrong Sembiring, S.H., M.H., dan Ratna Herlina Suryana S.S.T PAR, S.H.

Menurut dia, munculnya nama Benny tersebut merupakan bukti nyata bahwa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor: 1221/PDT.G/2023/PT.DKI sangat ceroboh dalam menyusun putusan. Ini juga membuktikan bahwa Judex Factie melalaikan kewajibannya untuk berhati-hati dalam membuat putusan.

Atas dasar itu, kata dia, permohonan tersebut harus dibatalkan sebagaimana diingatkan dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 22/Pdt.G/2014/PN Bjb, yakni putusan Judex Factie yang mengandung kecerobohan dan kelalaian harus dibatalkan, karena:

a. Ketidaksesuaian hukum. Putusan yang ceroboh atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku yang mengharuskan putusan dibuat secara cermat, hati-hati, dan menghindari kesalahan.

b. Keadilan. Putusan yang ceroboh atau lalai dapat merugikan salah satu pihak yang menjadi korban kecerobohan dan kelalaian.

c. Kualitas putusan. Putusan yang ceroboh atau lalai tidak hanya merugikan pihak yang bersengketa, tetapi juga dapat merusak integritas dan kredibilitas lembaga peradilan.

Amstrong Sembiring mengatakan, di dalam berbagai literatur, putusan tersebut merupakan mahkota hakim yang disusun secara sistematis berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun praktik peradilan.

Isi putusan menandaskan pemikiran serta analisis hakim untuk menyelesaikan suatu perkara. Putusan hakim menguraikan berbagai macam penafsiran hukum, bersifat konkret, mengikat, dan executable sehingga atas dasar itu peradilan sering disebut juga sebagai pusat dari imperium hukum.

Menurut Amstrong, yang dmaksud dengan Imperium hukum yaitu berarti kerajaan atau lembaga hukum tertinggi, yang melalui kewenangan para hakim berperan dalam pembentukan hukum sehingga melekat padanya elemen kesempurnaan, termasuk bebas dari segala “salah ketik di dalam putusannya”.

Meski demikian, lanjut dia, hakim juga manusia yang sudah menjadi kodratnya tidak terlepas dari kekhilafan dan kekurangan dalam menyusun putusan. Perspektif salah ketik putusan dapat masuk pada ruang lingkup teknis peradilan, namun juga ditafsirkan sebagai bagian dari ruang lingkup etik dan perilaku.

Meskipun masih debatable, kesalahan ketik dalam putusan hakim akan merujuk pada muatan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam prinsip ke-10 Profesional, butir 10.4.

Adapun ketentuan tersebut, yakni ”Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.”

Di dalam berbagai literatur juga disebutkan frasa kekeliruan dalam membuat putusan termasuk di dalamnya “salah ketik putusan”, namun demikian KEPPH butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. telah dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011 yang dibacakan tanggal 9 Februari 2012.

Esensi pertimbangan hukumnya adalah “pelaksanaan fungsi pengawasan dengan cara, misalnya memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses persidangan, memeriksa putusan hakim, dan hal-hal lain yang terkait dengan teknis peradilan, adalah tidak tepat.

Sebab, kata dia, kalaupun benar terdapat kekeliruan dalam penegakan hukum acara, para pihak dapat melakukan perbaikannya melalui proses ”upaya hukum” sebagaimana diatur didalam hukum formal (Hukum acara) Pengawasan oleh Komisi Yudisial seharusnya fokus mengenai dugaan pelanggaran etik dan/atau perilaku”.

Putusan ini, menegaskan perbedaan ruang lingkup kewenangan teknis peradilan dan etik atau perilaku. Kekeliruan di bidang teknis peradilan dilakukan dengan perbaikan melalui upaya hukum sedangkan pelanggaran etik melalui pengawasan internal dan eksternal.

Peleburan ruang lingkup kewenangan teknis dan etik bertentangan dengan semangat konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 frasa pertama disebutkan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka” yang harus diartikan juga termasuk merdeka dari penilaian etik.

Kalau kemudian karena kesalahan ketik putusan, hakim dianggap melanggar salah satu dari 8 prinsip lainnya dalam KEPPH, yakni Berperilaku Adil, Berperilaku Jujur, Berperilaku Arif dan Bijaksana, Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi, Bertanggung Jawab, Menjunjung Tinggi Harga Diri, dan Berperilaku Rendah Hati maka artinya ada perluasan penerapan prinsip-prinsip lainnya yang justru bertentangan dengan semangat ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 dan Putusan MA Nomor 36 P/HUM/2011.

Walaupun demikian, kata dia, kesalahan ketik putusan wajib dihindari oleh setiap hakim, termasuk dalam hal ini yakni putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor: 1221/PDT.G/2023/PT.DKI.

Menurut Amstrong, hal itu sangat penting dilakukan agar masyarakat percaya lembaga peradilan melalui putusan-putusan para hakim memang merupakan imperium hukum.

156