Rafah, Gatra.com - Sabtu (2/3) malam di Rafah, Gaza sama seperti malam-malam sebelumnya. Israel rutin mengirim bom dari gelapnya langit ke rumah-rumah keluarga Palestina yang penuh sesak.
Malam itu bom mengetuk pintu keluarga Rania Abu Anza dan membawa pergi suaminya, dua bayi kembarnya, 11 kerabat dan sembilan orang keluarga lainnya hilang dibawah reruntuhan.
Rania masih mengingat detil peristiwa memilukan itu. Ia terbangun sekitar pukul 22.00 untuk menyusui Naeim, anak laki-lakinya, dan kembali tidur dengan menggendong Naeim dengan satu tangan dan Wissam, anak perempuannya, dengan tangan yang lain. Suaminya tidur di samping mereka.
Ledakan terjadi satu setengah jam kemudian. Rumah itu runtuh.
"Saya berteriak memanggil anak-anak dan suami saya," katanya pada hari Minggu, sambil terisak dan mendekap selimut bayi di dadanya. "Mereka semua sudah meninggal. Ayah mereka membawa mereka dan meninggalkan saya."
Butuh waktu 10 tahun dan tiga kali fertilisasi in vitro bagi Rania Abu Anza untuk hamil, dan hanya dalam hitungan detik ia harus kehilangan bayi kembarnya yang berusia lima bulan.
Ia memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya ke dinding dan menepuk-nepuk kain itu dengan gerakan menenangkan.
Serangan Tanpa Peringatan
Serangan udara Israel secara teratur menghantam rumah-rumah keluarga yang penuh sesak sejak dimulainya perang di Gaza, bahkan di Rafah, yang pada bulan Oktober lalu dinyatakan sebagai zona aman oleh Israel, namun kini menjadi target serangan darat yang menghancurkan.
Serangan-serangan itu sering kali datang tanpa peringatan, biasanya di tengah malam.
Israel mengatakan bahwa mereka berusaha menghindari melukai warga sipil dan menyalahkan kematian mereka pada kelompok militan Hamas karena mereka menempatkan alat tempur, terowongan, dan peluncur roket di daerah pemukiman padat. Namun militer jarang mengomentari serangan-serangan individu, yang sering menewaskan perempuan dan anak-anak.
Militer pada hari Minggu tidak mengomentari serangan ini, namun mengatakan bahwa mereka "mengikuti hukum internasional dan mengambil tindakan pencegahan yang layak untuk mengurangi bahaya bagi warga sipil."
Dari 14 orang yang terbunuh di rumah Abu Anza, enam di antaranya adalah anak-anak dan empat lainnya adalah perempuan, menurut Dr. Marwan al-Hams, direktur rumah sakit tempat jenazah diambil. Selain suami dan anak-anaknya, Rania juga kehilangan saudara perempuan, keponakan, sepupu yang sedang hamil, dan kerabat lainnya.
Farouq Abu Anza, seorang kerabat, mengatakan sekitar 35 orang tinggal di rumah tersebut, beberapa di antaranya telah mengungsi dari daerah lain. Dia mengatakan mereka semua adalah warga sipil, kebanyakan anak-anak, dan tidak ada militan di antara mereka.
Rania dan suaminya, Wissam, keduanya berusia 29 tahun, telah menghabiskan satu dekade untuk mencoba hamil. Dua kali menjalani program bayi tabung gagal, namun setelah menjalani program yang ketiga, Rania mengetahui bahwa ia hamil pada awal tahun lalu. Si kembar lahir pada 13 Oktober.
Suaminya, seorang pekerja harian, sangat bangga dan bersikeras menamai anak perempuannya dengan nama dirinya sendiri, katanya. "Saya tidak merasa cukup dengan mereka," katanya. "Saya bersumpah saya tidak merasa cukup dengan mereka."
Putus Asa
Perang ini telah menewaskan lebih dari 30.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Sekitar 80% dari 2,3 juta penduduk Gaza telah meninggalkan rumah mereka, dan seperempat dari populasi menghadapi kelaparan.
Kementerian tersebut mengatakan bulan lalu bahwa lebih dari 12.300 anak-anak dan remaja Palestina telah terbunuh dalam perang, sekitar 43% dari keseluruhan korban. Perempuan dan anak-anak merupakan tiga perempat dari jumlah korban tewas. Kementerian tersebut tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan dalam penghitungannya.
Israel mengklaim telah membunuh lebih dari 10.000 pejuang Hamas, namun tidak memberikan bukti.
Bagi anak-anak yang selamat, perang telah membuat hidup mereka seperti di neraka, kata para pekerja kemanusiaan, dan beberapa anak di Gaza utara berada di luar jangkauan perawatan.
"Rasa ketidakberdayaan dan keputusasaan di antara para orang tua dan dokter ketika menyadari bahwa bantuan yang menyelamatkan nyawa, hanya beberapa kilometer jauhnya, dijauhkan dari jangkauan, pasti tak tertahankan, tetapi yang lebih buruk lagi adalah tangisan pilu bayi-bayi itu yang perlahan-lahan musnah di bawah tatapan dunia," ujar direktur regional UNICEF, Adele Khodr, dalam sebuah pernyataan pada hari Ahad seperti dikutip AP.
Hingga hari Sabtu, keluarga Abu Anza masih relatif beruntung. Rafah telah terhindar dari kehancuran besar di Gaza utara dan kota selatan Khan Younis, di mana tank-tank Israel dan pasukan darat telah memerangi militan blok demi blok setelah gelombang serangan udara.
Rafah juga berada di wilayah Gaza yang semakin menyusut, di mana bantuan kemanusiaan masih bisa dikirimkan.
Namun Israel telah mengatakan bahwa Rafah akan menjadi sasaran berikutnya, dan sekitar 1,5 juta orang yang telah mengungsi di sana akan direlokasi, tanpa mengatakan ke mana.
"Kami tidak punya hak," kata Rania. "Saya kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya tidak ingin tinggal di sini. Saya ingin keluar dari negara ini. Saya lelah dengan perang ini."