Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mengecam pemberian kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) bintang empat untuk Prabowo Subianto. KMS menegaskan, pemberian kenaikan pangkat ini tidak hanya melukai perasaan korban, tapi juga mengkhianati Reformasi 1998.
“Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” ucap Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy melalui keterangan resminya pada Selasa (27/2).
KontraS menilai pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah yang keliru.
“Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” kata Andi.
KMS menilai, pemberian apresiasi ini kontradiksi dengan janji Presiden Jokowi dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu di tahun 2014 lalu.
“Terlebih, pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2006,” jelas Andi.
Berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo dinilai bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan. Salah satunya, melakukan penculikan kepada sejumlah aktivis pada tahun 1998.
Surat keputusan DKP memberikan sanksi kepada Prabowo berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan. KMS menilai, pemberian gelar jenderal kehormatan kepada seorang prajurit yang telah dipecat sebagai secara tidak hormat telah mencederai profesionalisme dan patriotisme TNI.
“Artinya, Presiden Jokowi telah memaksa institusi TNI untuk menjilat ludah mereka sendiri demi kepentingan politik keluarga Presiden Jokowi,” kata Andi lagi.
Ia menegaskan, tindakan Presiden ini tidak hanya mempolitisasi TNI, tapi juga meruntuhkan marwah dan martabat TNI yang dibangun oleh darah dan air mata para prajurit.
“Kami memandang sudah seyogyanya TNI tidak ditarik-tarik dan dilibatkan dalam “cawe-cawe” politik praktis dengan melantik seorang jenderal pelanggar HAM dengan pangkat kehormatan,” tegas Andi.
Terhadap pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto, Koalisi Masyarakat Sipil kembali mendesak Komnas HAM untuk mengusut serius kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM didesak untuk dapat memanggil dan memeriksa Prabowo atas keterlibatan dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
KMS juga mendesak agar Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Pemerintah, terutama Presiden dan jajarannya didesak untuk dapat menjalankan rekomendasi DPR tahun 2009 untuk segera membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi, dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
KMS juga mendesak agar pemerintah dapat segera meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. TNI-POLRI juga didesak untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.