Jakarta, Gatra.com – Praktisi hukum Syefullah Hamid, S.H., M.H., mengatakan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, tidak bisa menetapkan mantan Direktur Utma (Dirut) PT Pertamina, Galaila Karen Agustiawan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi LNG.
“Menurut saya, kalau ini jelas bermasalah, karena di UU KPK yang baru, pimpinan KPK itu bukan penyidik, bukan penuntut umum,” kata Syefullah dalam diskusi bertajuk “Membedah Eksepsi Karen Agustiawan: Pengadaan LNG Pertamina-Corpus Christi” di Jakarta akhir pekan kemarin.
Ia menjelaskan, sesuai ketentuan tersebut maka ketua KPK tidak mempunyai kewenangan atau tidak berwenang untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, apalagi melakukan penahanan.
Syaefullah menyampaikan pandangan tersebut mengomentari eksepsi tim kuasa hukum terdakwa Karen Agustiawan, khususnya dari sisi formil.
“Ini semsetinya harus menjadi persoalan hukum dan mudah-mudahan harusnya hakim berani,” katanya.
Menurut dia, majelis hakim harusnya berani menolak surat dakwaan terhadap seseorang yang proses hukumnya dilakukan tidak sesuai ketentuan. Ia mengungkapkan, sejak tahun 1990-an, sudah banyak yurisprudensi mengenai hal tersebut.
“Terdakwa yang berkas perkaranya, surat dakwaannya tidak dapat diterima karena disusun berdasarkan berkas pemeriksaan yang tidak sah. Itu sudah ada yurisprudensi di Mahakmah Agung,” ucapnya.
Sedangkan dari sisi materiil, lanjut dia, tim kuasa hukum Karen Agustiawan menilai bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di antaranya error in persona dan uraian tindak pidana tidak lengkap.
“Aksi korporasi, kerugian keuangan negara khususnya soal kasualitas. Teori eksespsi ini kaitannya dengan Pasal 143 Ayat (2) yang harus merumuskan surat dakwaan itu secara lengkap dan cermat,” ujarnya.
Sedangkan eksepsi terdakwa Karen, lanjut Syefullah, mengupas beberapa kejanggalan mengenai hal-hal formil, di antaranya surat dakwaan disusun berdasarkan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diperiksa atau BAP dalam penyidikan.
“Ini kan jadi persoalan, ini menjadi isu hukum karena kok bisa? Padahal dalam KUHAP itu jelas, surat dakwaan disusun berdasarkan pemeriksaan penyidikan secara lengkap. Berkas penyidikan itu BAP para saksi, ahli, barang bukti, dan sebagainya,” kata dia.
Menurutnya, meskipun dalam praktik di persidangan ada saksi verbal lisan, namun biasanya itu polisi yang dihadirkan di persidangan. Sedangkan dalam kasus yang disidik KPK, saksi-saksi harusnya dimintai pada tingkat penyidikan.
“Tapi ternyata orang-orang itu tidak pernah diperiksa, tapi muncul namanya di surat dakwaan, tidak ada di BAP,” ujarnya.
Menurut dia, kalau hal itu benar terjadi maka akan menjadi persoalan atau masalah. Namun meskipun KUHAP mengatur demikian, namun jarang melihat bahwa pengadilan menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena hal tersebut.
“Pengadilan membatalkan, menyatakan dakwaan tidak dapat diterima gara-gara surat dakwaan disusun berdasarkan saksi-saksi yang tidak pernah di-BAP,” katanya.
Menurutnya, majelis hakim harus mempunyai nyali untuk melakukan suatu terobosan hukum karena ini soal keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Sedangkan soal kerugian keuangan negara, itu sesuatu yang belum pasti.
“Ini hak asasinya orang sudah pasti hilang, bukan hanya hak asasi terdakwanya saja, tapi kelurganya yang hancur secara sosial dan sebagainya,” ujar dia.
“Teori eksespsi ini kaitannya dengan Pasal 143 Ayat (2) yang harus merumuskan surat dakwaan itu secara lengkap, cermat. Ini memang kebanyakan dalil di pengadiln ini, ujung-ujungnya sudah masuk pokok perkara,” katanya.
Sebelumnya, JPU KPK mendakwa Karen melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.