Jakarta, Gatra.com - Keterlibatan aktif perempuan dalam aksi terorisme di tanah air menjadi salah satu fenomena baru yang semakin diperhatikan. Perempuan yang dianggap sebagai salah satu kelompok paling rentan terpapar paham radikal salah kaprah nyatanya juga sudah meninggalkan jejak di gelanggang aksi teror di tanah air.
Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia, Yunianti Chuzaifah, menyoroti persentuhan kaum perempuan Indonesia dengan terorisme tak cuma terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik.
Dalam konteksnya sebagai korban, perempuan punya kerentanan untuk menjadi sasaran luapan frustasi suami. Saat aksi teror gagal, pelaku yang notabene berperan sebagai suami dan bapak akan punya kecenderungan menumpahkan agresinya di lingkungan keluarga.
"Para penyerang yang frustasi karena gagal di luar pada saat pulang ke rumah itu agresinya muncul dan disasarkan kepada yang dipersepsi lemah, yaitu kepada perempuan, istrinya, kepada anak-anaknya, kepada PRT-nya," kata Yunianti dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) 2024.
Maka itu, hak asasi perempuan atau keadilan gender menjadi penting dalam rangka optimalisasi perlindungan perempuan dalam skema penanggulangan terorisme.
"Hak asasi perempuan atau keadilan gender harus menjadi pandega dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan karena tidak jarang hak asasi ini dimaknai sebagai freedom to harm, bebas apa saja."
Peran perempuan yang nampak menguat sebagai pelaku juga tak boleh menafikan statusnya yang lebih sering menjadi korban. Karena itu, dia mengetengahkan pentingnya menggunakan perspektif interseksi dalam melihat fenomena keterlibatan perempuan dalam terorisme hari ini.
"Interseksi itu adalah pertautan atau persilangan. Ada kecenderungan bahwa perempuan itu dulu korban, sekarang ini pelaku, lalu dilihat bahwa seluruh perempuan satu wajah bahwa mereka sekarang ini juga menjadi teroris. Saya membahasakannya demonizing women. Jadi seperti perempuan itu sekarang banyak yang jahat. Saya menilai interseksi itu perlu untuk dilihat bahwa sekarang ada loh yang memang jadi pelaku, yang korbannya juga tidak sedikit," urainya.
Walau demikian, dia juga menekankan pentingnya perspektif yang menempatkan perempuan dalam pusara terorisme tidak semata sebagai pelaku pasif tanpa kehendak bebas. Nyatanya, beberapa pelaku teror tidak beroperasi semata di bawah bayang-bayang kehendak pria atau suami mereka.
Dalam konteks penanggulangan perlu melihat perempuan dengan daya lakunya atau mengakui agensinya. Saya senang tadi dari BNPT mempunyai paradigma yang selaras, juga dari Kemen PPPA, bahwa daya laku itu penting, bukan hanya sebagai sosok yang jadi korban, tidak berdaya," ujar dia.
Sementara itu, Analis BNPT Dr. Leebarty Taskarina, S.Sos., M.Krim. dalam paparannya menerangkan adanya peran kehendak sukarela atau agensi dari para perempuan yang terlibat aksi teror di ruang publik.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia terutama yang bersinggungan dengan ISIS, melibatkan berbagai peran dan motivasi. Keterlibatan perempuan dipengaruhi oleh faktor kepribadian seperti narsisme dan fanatisme, latar belakang pribadi, pengaruh orang terdekat yang terlibat terorisme, serta identitas sosial yang terkait dengan solidaritas muslim.
"Terdapat narcissistic disorder yang membuat dia ingin terlihat lebih unggul tapi dengan cara berbeda karena dia teralienasi dari kelompok yang lebih dominan, hingga akhirnya dia ingin menjadi pemimpin dalam perannya," katanya.
Kehadiran agensi dalam aksi terorisme perempuan juga ditemukan dalam penelitian Dosen Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Dhestina Religia Mujahid, yang membilang peningkatan peran aktif perempuan dalam aksi teror adalah egalitarianisme gender untuk mempermalukan laki-laki yang dianggap lemah dengan melakukan aksi sendiri.
"Pada penelitian lain juga menyebutkan ada rasa agensi perempuan yang muncul ketika melihat laki-laki tidak mampu melakukan perannya sebagai laki-laki yang sering disimbolkan sebagai orang yang lebih berani. Ketika ada tugas yang diberikan kepada laki-laki dan ternyata laki-lakinya enggak berani, di situ muncul ada agensi perempuan," kata dia.
Berdasarkan data sepanjang 2000 -2023, terdapat 65 putusan pengadilan dengan terpidana perempuan yang terlibat terorisme. Berdasarkan data Densus 88 AT Polri terdapat 68 perempuan yang ditangkap akibat terlibat dengan terorisme. Sejak 2000 sampai 2023, sebanyak 80 orang dengan kategori usia 18-24 tahun ditangkap atas keterlibatannya dengan terorisme di mana 5 di antaranya adalah perempuan.