Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fahri Bachmid, menanggapi wacana pengguliran hak interpelasi dan hak angket oleh DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Fahri berpendapat bahwa pada hakikatnya pembentuk UUD telah meletakan mekanisme checks and balances dalam konteks relasi kelembagaan serta kewenagan atributif yang dimiliki oleh entitas lembaga negara, dalam penyelenggaraan negara, termasuk DPR, Presiden, MK maupun KPU dalam rangka penyelenggaraan pemilu.
"Kita cermati dalam kaidah Pasal 20A yaitu dalam melaksanakan fungsinya, DPR diperlengkapi dengan alat yang dinamakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, tetapi dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara, bukan dimaksudkan untuk menilai atau membahas terkait proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya," jelasnya kepada Gatra.com, Kamis (22/2).
Di samping itu, jelas Fahri, konstruksi norma Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tentang Pemilihan Umum telah mengatur bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Dengan demikian jika DPR mencoba membuat kebijakan ekstensifikasi kewengannya termasuk menggunakan alat angket untuk menilai serta menyelidiki proses serta produk pemilu itu sendiri tentu merupakan jalan yang keliru serta jauh dari prinsip konstitusi, yang telah secara tegas meletakan diferensiasi kewenagan konstitusional pada masing-masing lembaga negara," tegasnya.
Fahri menjelaskan bahwa relasi penyelesaian sengketa Pemilu telah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi itu sendiri, sehingga kanal penyelesaian secara konstitusional tidak dikenal digunakan diluar dari yang telah ditentukan.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, jelas Fahri, telah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
"Menurut hemat saya, jalan itu yang mestinya digunakan, sebab jika angket yang mau dipaksakan maka tentu itu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan, angket adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu di Republik ini, tidak ada dalam kerangka hukum Pemilu kita," terangnya.
Fahri menjelaskan bahwa Hak Angket adalah suatu instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap memiliki dampak penting, strategis, dan luas pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
Landasan konstitusional pengunaan Hak Angket, terang Fahri, didasarkan pada UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 20A ayat (2), dan secara derivatif, pranata hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.
Fahri menguraikan bahwa dalam kerangka hukum tata negara, Hak Angket, bersama dengan Hak Menyatakan Pendapat dan Hak Interpelasi, merupakan instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau pemerintah.
Namun, dalam konteks permasalahan Pemilu, Fahri berpendapat bahwa penggunaan Hak Angket tersebut adalah absurd serta tentunya inkonstitusional, tidak dikenal dalam bangunan hukum Pemilu Indonesia.
"Penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU RI No. 17/2014 tentang MD3 dengan jelas menyatakan bahwa Hak Angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian," bebernya.
"Dengan demikian, jika Hak Angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan Pemilu, maka pada hakikatnya itu telah masuk pada ranah sengketa pemilu, yang tentunya merupakan yurisdiksi pengadilan, yang mana penyelesaiannya merupakan kompetensi absolut MK, bukan DPR," tambahnya.
Fahri menyarankan agar para pihak yang tidak puas dengan hasil Pemilu untuk tertib mengunakan instrumen hukum atau kerangka hukum Pemilu yang tersedia, ada banyak saluran konstitusional yang dapat ditempuh apabila merasa ada kecurangan pada pelaksanaan pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK.
"Itu lebih genuine yang tentunya berbasis pada prinsip-prinsip konstitusionalisme," tutup Fahri.