Mataram, Gatra.com - Naiknya harga beras di NTB dinilai menjadi satu anomali. Ini tak terlepas dari angka produksi padi di daerah ini yang stabil bahkan masih tetap tinggi, namun justru beras ikut mahal seperti di daerah lain.
Kadis Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB Muhammad Taufieq Hidayat menjelaskan, produksi gabah kering giling di NTB tahun 2023 sebesar 1,38 juta ton atau setara dengan hampir 1 juta ton beras.
Adapun kebutuhan beras masyarakat NTB dalam satu tahun yaitu sekitar 530 ribu ton. Sehingga ada surplus gabah atau beras lantaran tak habis dikonsumsi oleh masyarakat NTB. Karena itulah kebijakan berupa penjualan antar daerah sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daerah lain.
"Kita ini ada anomali. Produksi kita melimpah, namun harga naik. Seharusnya kita ini kan suplai banyak, harga harus turun. Namun ada ketergantungan karena kita menjadi penyangga daerah-daerah lain. Ini yang harus diperhatikan," terang Muhammad Taufieq Hidayat kepada sejumlah media Kamis (22/2).
Dikatakan, pada dasarnya petani menginginkan harga padi yang bagus saat panen. Karena itulah jika harga gabah ditekan di tingkat petani, tentu kesejahteraan yang diharapkan itu tak tercapai. Sebab di satu sisi, petani masih terus berhadapan dengan sejumlah tantangan pertanian yang tak kecil.
“Karena itu mungkin ada lembaga lain atau OPD lain mensiasati harga beras yang naik ini. Kalau Fistanbun menginginkan harga pertanian yang diproduksi petani itu tetap bagus, agar mereka sejahtera,” ujarnya.
Dalam hal ini ia menelurkan gagasan agar Pemda sebaiknya memiliki satu badan atau lembaga penyangga produksi pertanian. Lembaga ini yang menyediakan bibit dan membeli produk pertanian dengan harga yang menguntungkan.
“Ada badan penyangga yang berfungsi untuk hal seperti ini. Bisa berbentuk koperasi atau badan usaha milik daerah,” tandasnya.
Dikatakan, NTB adalah provinsi penyangga pangan nasional. Namun persoalannya yaitu NTB tak bisa mandiri dalam penyediaan bibit. Sebab selama ini bibit didatangkan dari Pulau Jawa.
Karena penangkar-penangkar di NTB tak mampu bersaing. Karena produksinya kecil, sehingga mereka tak bisa ikut e-katalog.
"Sehingga saya usulkan harus ada koperasi atau BUMD yang menghimpun para penangkar kita untuk e-Katalog," ungkapnya.
Provinsi NTB membutuhkan 4000 ton bibit padi dalam setahun. Namun sejatinya petani di daerah ini bisa memproduksi sampai 7000 ton, sehingga ada kelebihan yang bisa disuplai ke provinsi tetangga.