Pekanbaru, Gatra.com - Sebulan terakhir Katimin benar-benar tak enak hati. Sebulan terakhir, harga Tandan Buah Segar (TBS) mitra plasma terus-terusan disalib oleh harga TBS mitra swadaya.
Padahal kata lelaki 57 tahun ini, dari sisi apapun, baik itu dari umur tanaman, bibit, pola panen hingga perawatan, kualitas kebun mitra plasma masih lebih bagus ketimbang swadaya.
Lantaran itulah makanya tak aneh, bila harga TBS mitra plasma lebih tinggi ketimbang harga TBS mitra swadaya. Tapi sebulan terakhir enggak begitu.
"Makanya kami heran. Banyak teman-teman WA ke saya ngajak pindah saja menjadi mitra swadaya," unek-unek petani plasma di kawasan Buatan, Kabupaten Siak, Riau ini pun tumpah saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.
Sebenarnya, saat ikut rapat penetapan harga TBS di lantai dua Kantor Dinas Perkebunan Riau di kawasan jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru pekan lalu, fenomena anomali harga ini sudah dipersoalkan Katimin kepada perusahaan penyedia data yang ikut dalam rapat itu.
Kebetulan Katimin menjadi salah satu perwakilan petani plasma pada acara penetapan harga yang rutin digelar setiap hari Selasa itu.
Apes. Jawaban yang didapat Katimin normatif saja; itu gara-gara penjualan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) perusahaan mitra swadaya lebih tinggi ketimbang perusahaan mitra plasma.
"Yang saya tanya, kok bisa harga mitra swadaya lebih tinggi. Ini yang enggak ada jawabannya," juru bicara Forum Komunikasi Petani PIR Kelapa Sawit (FKPPKS) Kebun Buatan ini merutuk.
FKPPKS adalah wadah petani plasma binaan PT. Inti Indosawit Subur (IIS), anak perusahaan Asian Agri. FKPPKS beranggotakan 12 Koperasi Unit Desa (KUD) dengan luas lahan kebun kelapa sawit 11 ribu hektar.
Yang membikin Katimin makin penasaran, harga CPO mitra swadaya bisa lebih tinggi lantaran Free Fatty Acid (FFA) nya hanya 2%. Sementara mitra plasma mencapai 3,4%. "Inikan makin aneh lagi. Kok bisa kayak begitu?" Katimin makin penasaran.
Lantaran sudah semakin aneh, sempat juga Katimin meragu untuk mengiayakan harga yang akan ditetapkan saat itu.
Tapi lantaran perusahaan sumber data telah menyodorkan kontrak dan invoice yang menjadi sumber data, lalu mau pula meneken Surat Pernyataan Pertanggungjawaban Mutlak (SPPM), Katimin luluh.
Dalam setiap rapat penetapan harga, sumber data untuk harga TBS mitra plasma mencapai 21 perusahaan dan mitra swadaya 9 perusahaan.
"Apakah data itu benar atau tidak, kita enggak bisa tahu. Sebab ada sistim khusus yang menengok itu. Kewenangannya ada di Aparat Penegak Hukum (APH)," katanya.
Hasil penelisikan myelaeis.com atas harga yang berlaku untuk periode 7-13 Februari 2024, Indeks K untuk mitra plasma ditetapkan 90,66% dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) 1,39%.
Lalu, harga CPO Rp11.696,59 per kilogram, harga Kernel Rp5.926,37 per kilogram dan nilai Cangkang Rp15,58 per kilogram.
Mitra swadaya, Indeks K 91,12%, BOTL 0,86%, harga CPO Rp12.000,6 per kilogram, harga Kernel Rp5.919,82 per kilogram dan nilai cangkang Rp16,44 per kilogram.
Dari data ini, memang kelihatan kalau indeks K plasma lebih rendah 0,46% ketimbang mitra swadaya. Harga CPO lebih rendah Rp304,01 dan nilai Cangkang juga lebih rendah Rp0,86. Hanya harga Kernel yang lebih tinggi Rp6,55.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Riau, Marianto, juga tak bisa menjawab dengan detil kenapa harga CPO mitra swadaya lebih tinggi ketimbang mitra plasma.
Kalau harga mitra swadaya lebih tinggi lantaran FFA nya lebih rendah, lelaki 59 tahun ini mengakui itu. Dia pun mengaku salut dengan Salim --- salah satu perusahaan penyedia data untuk harga mitra swadaya --- yang mampu menjaga FFA di bawah 3%.
"Mestinya semua perusahaan bisa kayak Salim. Lantaran kayak begitu, harga CPO Salim di atas harga KPBN. Tapi untuk musim penghujan kayak sekarang, FFA 3,4% itu masih normal. Biasanya hujan-hujan kayak gini FFA itu bisa 5-6%," katanya.
Tapi kalau kemudian ada yang curiga dengan data yang ada kata ayah tiga anak ini, itu hak mereka yang curiga tadi.
"Yang pasti penyedia data enggak akan berani membuat-buat data. Sebab tiap pekan perusahaan itu meneken SPPM yang sanksinya bersedia dituntut secara hukum," ujarnya.
Marianto berharap petani plasma tidak risau dengan perbedaan harga yang terjadi. "Ini hanya anomali. Enggak akan sering. Toh juga baru dua minggu, bukan empat minggu," katanya.
Besok, rapat penentuan indeks K akan digelar kembali di lantai dua Dinas Perkebunan Riau di kawasan jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru. Apakah kelak indeks K mitra swadaya akan tetap lebih tinggi, kita lihat saja nanti.
Lagi-lagi soal BOTL
Dari tahun 2020 lalu, Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) telah menjadi persoalan di kalangan petani sawit di Riau.
Sebab saat itu petani menghitung, gara-gara BOTL yang angkanya saat itu mencapai 2,63%, telah menyedot duit petani Rp2,9 miliar dalam sepekan. Kalau sebulan, angka itu sudah membengkak menjadi Rp11,6 miliar.
Lantaran heboh-heboh kata Kawas Taringan, pengurus DPP Apkasindo yang rutin ikut penetapan harga TBS di Riau, angka BOTL tadi sudah dipangkas maksimal 1,3%.
Nah, setelah heboh itu, Gubernur Riau yang waktu itu dijabat oleh Syamsuar, mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Riau nomor 77 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun di Provinsi Riau.
Sejak Pergub itu muncul, pola penetapan harga TBS petani di Riau pun dibagi dua; kemitraan plasma dan swadaya.
Seperti pada penetapan harga periode 7-13 Februari 2024 itu, BOTL mitra swadaya ditetapkan 0,86% dan BOTL mitra plasma 1,39%.
"Kalau volume olah produksi mencapai 85 juta kilogram, sudah berapa pula BOTL yang terkumpul?" Katimin kemudian bertanya.
Nah, kepada myelaeis.com, Marianto mengatakan bahwa BOTL itu nilainya kecil, hanya Rp5. BOTL ini lebih dulu ditetapkan baru harga TBS.
Kalau volume olah produksi mitra plasma seperti kata Katimin tadi mencapai 85 juta kilogram, ini berarti 85 juta x Rp5= Rp425 juta seminggu. Itu baru mitra plasma. Hhhmm....