Home Hukum Ketua MK Contohkan Penambahan Nama Komeng

Ketua MK Contohkan Penambahan Nama Komeng

Jakarta, Gatra.com – Alfiansyah Bustami Komeng tiba-tiba menjadi perbincangan karena perolehan suaranya sangat fantastis sebagai calon anggota DPD RI dari daerah Jawa Barat (Jabar). Lantas bagaimana secara hukum pencantuman nama tambahan “Komeng” di Pemilu 2024?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., selaku narasumber dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan III yang gelaran DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) dan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), secara hybrid pada Sabtu (17/2), mengatakan, sah-sah saja mencantumkan nama beken asalkan telah mendapatkan putusan dari pengadilan.

Adapun komedian asal Bogor yang awalnya bernama Alfiansyah Bustami tersebut telah mengajukan permohonan di Pengadilan Kelas IA Cibinong, Kabupaten Bogor, untuk menambahkan “Komeng” pada bagian akhir namanya demi kepentingan pencalonan sebagai anggota DPD RI pada Pemilu 2024.

Pengadilan Negeri Kelas IA Cibinong, kemudian mengabulkan permohonan tersebut, sehingga pria yang identik dengan seloroh “Uhuy” tersebut namanya menjadi Alfiansyah Bustami Komeng.

“Karena sudah dijustifikasi [diputus] oleh pengadilan, kemudian boleh dipasang dalam daftar nomor urut yang resmi itu,” ujar Suhartoyo. 

Ia menjelaskan, gugatan atau permohonan yang diajukan Komeng tersebut sifatnya adalah voluntair atau tidak ada pihak yang digugat (tergugat) dan dirugikan atas permohonan tersebut.

“Kalau voluntair itu seperti gugatan [uji formil] undang-undang di MK, atau di PN atau pengadilan agama, orang misalnya hari ini banyak yang mau ganti nama karena menjadi caleg, anggota DPD atau DPR, DPRD,” katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, sifat perkaranya tersebut voluntair karena ketika yang bersangkutan mengajukan permohonan mengganti atau menambah nama ke pengadilan, itu tidak perlu melibatkan pihak lain sebagai tergugat.

“Itu privat untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak merugikan pihak lain, karena hanya sekadar mengganti nama,” katanya.

Dengan demikian, lanjut dia, tidak masalah kalau seseorang mau mengganti namanya sepuluh kali dalam satu tahun dengan mengajukannya ke pengadilan asalkan tidak merugikan orang atau pihak lain.

“Sepanjang itu melalui lemnbaga peradilan yang mempunyai kewenangan untuk itu. Berbeda dengan hal yang merugikan pihak lain, sehingga harus melalui gugatan,” tandasnya.

Ia lantas mencontohkan penambahan nama “Komeng” karena lebih melekat di benak publik atau tenar dibanding nama aslinya Alfiansyah Bustami demi memudahkan pemilih pada Pemilu ini.

“Sekarang nama yang populer 'Komeng' misalnya, dia tidak mau kalau nama sebenarnya dipasang, nanti tidak tahu kan [pemilih]. Wah, ini bisa merugikan suara kan,” katanya.

Karena telah tenar dengan nama alias, lanjut dia, kemudian mereka datang ke pengadilan negeri untuk mengajukan permohonan, misalnya untuk mengganti nama atau menambah nama aslinya dengan nama beken.

“Bahwa nama resmi saya itu ada plusnya, 'Uya Kuya' atau 'Komeng' mislanya, jadi nama aslinya siapa plus Uya Kuya,” katanya mencontohkan.

Suhartoyo menjelaskan, beda halnya kalau belum mendapat putusan dari pengadilan, maka tidak boleh menambahkan nama samaran atau bekennya itu dalam dokumen resmi, misalnya surat suara.

“Sepanjang belum ada keputusan pengadilan itu tidak boleh karena itu nama panggilan, nama bekennya saja [bukan nama asli],” kata dia.

Suhartoyo melanjutkan, setelah ditambahkan nama beken tersebut, konstituen langsung mengetahui. Menurutnya, ini juga mungkin membantu Komeng sehingga dapat mendulang suara.

“Begitu sudah dipasang para konstituennya itu enggak terjebak lagi, cari siapa ya, ternyata sudah dipasang nama yang beken sehingga ternyata itu sangat membantu dalam perolehan suara itu,” ujarnya.

59