Sleman, Gatra.com - Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pemeran "Dirty Vote" Zainal Arifin Mochtar mengungkap kisah di balik layar film yang menuai perhatian di masa tenang jelang Pemilu 2024 itu. Dari tudingan tim sukses calon presiden tertentu hingga upaya untuk mengantisipasi risiko atas tayangnya film tentang indikasi kecurangan pemilu tersebut.
"Kami kalah telak di TikTok. Itu tandanya kami tidak punya tim. Tidak ada yang membiayaim Misalnya kami dipesan paslon tertentu, mereka yang akan bertarung di Tiktok," ujar Zainal di diskusi film Dirty Vote di kampus UGM, Selasa (13/2).
Ia menjelaskan film yang kini ditonton sekitar 20 juta kali ini berawal dari pemetaan kecurangan pemilu yang disambut tim produksi Watchdog dan sutradara Dhandy Laksono.
"Kami buat layaknya Bandung Bondowoso. Persiapan 2 minggu. Bahan dasar sudah ada. Kami berdebat 2 hari soal substansi data dan cara penyajiannya plus kuat atau tidaknya data. Kami buang data yang tidak jelas," tuturnya.
Zainal menampik penayangan film pada tanggal 11 jam 11 punya maksud tertentu bahkan terafiliasi ke capres tertentu. "Saya bingung, emang hari yang tepat hari apa. Jangan lihat secara primbon. Kalau tayang setelah tanggal 14 tidak ada gunanya, mau tanggal 10 tidak terkejar. Ini tidak ada rujukan klenik. Cari nomor cantik saja," paparnya.
Menurut dia, tim produksi juga sempat memikirkan teknis penayangan, seperti jika film itu di-takedown. Tim bahkan mempertimbangkan untuk mengunggah dari Singapura
Ia juga mengakui bahkan tidak ada fakta baru di film Dirty Vote. "Kami hanya menjahit fakta, menganalisis, dan setelah dibaca ini sistematis," katanya.
Zainal juga curhat ia dituding berbagai predikat usai film ini tayang. "Ada yang mengatakan saya ini orang kiri komunis, lalu radikal, malah saya juga dianggap dari PDIP atau PKS. Saya juga disebut anak buahnya Mahfud MD, bahkan adik tirinya," ujar peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi UGM ini.
Namun, usai film itu tayang, Zainal mengaku dihubungi oleh para pendukung semua capres. "Ketiganya menelpon, ada yang berterima kasih, ada yang bilang bisa membantu, dan ada yang menawari umroh," kata dia seraya tertawa.
Ia menyebut pembuatan film itu bukan demi membela capres atau parpol tertentu. Dirty Vote bertujuan menyasar kekuasaan. "Kami juga akan tagih ke parpol oposisi konsistensi mereka. Kalau kalah ya tetap bersama rakyat jadi oposisi. Jangan mau kuenya pas bagi-bagi jabatan," tuturnya.
Zainal tak menyebut secara gamblang risiko usai film tersebut tayang. "Risiko kita tahulah. Tapi setelah trailer tayang kami matikan HP dan cabut simcard. Ini bukan heorisme, tapi realita betapa menakutkannya kebebasan berekspresi saat ini. Ini ijtihad kami," katanya.
Belakangan Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) melaporkan sutradara dan pemeran Dirty Vote karena dianggap melanggar Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Saya belum tahu. Saya akan cek. Tapi kalau konteksnya pasal 287 ya, itu (kewenangan) Bawaslu," ujar Zainal usai acara tersebut.