Jakarta, Gatra.com- Pekan ini di masa tenang Pemilu 2024, publik dihebohkan dengan beredarnya film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" yang dirilis pada 11 Februari 2024. Film karya sutradara Dandhy Dwi Laksono dan diproduseri oleh Joni Aswira Putra. Durasi film ini sekitar 1,5 jam dan sudah ditonton lebih dari 500 ribu penonton pada setengah hari pertama perilisannya.
Film ini berisi kritik atas sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia untuk kondisi terakhir khususnya jelang Pemilu 14 Pebruari 2024. Film menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Dr. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM. Mereka menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.
Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) dan pengamat militer Wibisono mengatakan, film ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik tentang masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia.
Manipulasi politik, penyalahgunaan kekuasaan, serta mobilisasi birokrasi yang masif dan terstruktur dilakukan oleh Aparatur negara sampai ke tingkat kepala desa.
"Saya menilai konten dari film ini sangat penting yang disuguhkan secara sistematis dan bisa dicerna dan dikonsumsi masyarakat, dengan tujuan agar bisa segera diperbaiki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjamin terselenggaranya Pemilu yang jujur, adil (jurdil) dan bermartabat, "ujar Wibisono.
Menurutnya, "Dirty Vote" mengungkap potret masalah demokrasi dan pemilu secara telanjang dan apa adanya. Film memuat bagaimana terjadi indikasi kecurangan pemilu mulai dari data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu yang meningkat tajam. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa bantuan-bantuan tersebut dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu, bukan semata-mata demi kesejahteraan rakyat.
"Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal oleh kepala desa yang menuntut revisi UU Desa agar dana desa ditingkatkan. Hal ini diduga sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok," ucapnya.
Pemerintah, lanjut Wibisono, juga dikritik karena diduga menggunakan bantuan sosial sebagai alat politik menjelang Pemilu. "Distribusi bantuan sosial seringkali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan," paparnya.
"Akankah film ini akan berpengaruh pada pemilih saat pemungutan suara nanti tanggal 14 Februari? Nanti kita tunggu hasilnya," pungkasnya.
Editor: Andhika Dinata