Jakarta, Gatra.com - Iklim politik Indonesia dinilai makin tak sehat dengan diwarnainya pelanggaran etik yang terjadi selama berjalannya kontestasi pemilu 2024. Pakar politik, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, permasalahan etik yang timbul belakangan ini seolah tidak mendapat sanksi yang setimpal.
Ikrar memandang, rangkaian permasalahan etik ini dimulai kala Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menjadi celah untuk digunakan Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi Calon Wakil Presiden. Padahal, MK tidak memiliki otoritas untuk mengubah pasal dalam UU Pemilu.
"Sayangnya, MK hanya memberi sanksi pelanggaran berat etis. Padahal pelanggaran etis itu otomatis melanggar hukum karena etika-lah yang menjadi dasar putusan itu sendiri," jelasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/2).
Mantan Duta Besar RI untuk Tunisia ini juga menyatakan, begitu keputusan MK keluar 13 Oktober 2024, seharusnya KPU mengubah apa yang disebut Peraturan KPU. Namun ternyata KPU hanya membuat surat edaran putusan MK yang harus diikuti.
"Padahal bila ada persoalan genting, seharusnya DPR datang dan melaksanakan sidang karena masa reses bukan alasan," tegas dia.
Sementara itu, Direktur Negarawan Center, Johan O Silalahi juga berpandangan, pelanggaran hukum dan konstitusi yang tak terhitung jumlahnya ini sudah bisa disebut sebagai masa krisis etika dan moral. Hal ini dimulai dari puncak tertinggi, dari upaya-upaya politik yang kemudian meloloskan anak residen Jokowi menjadi calon wakil presiden lewat Mahkamah Konstitusi.
"Akibatnya, seperti guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Muridnya pasti akan lebih brutal. Jokowi memberi contoh buruk, pasti di bawahnya akan meniru bahkan lebih buruk lagi," ujar Johan.
Tak pelak, dirinya pun tak heran Menurut banyak pihak yang menyatakan bahwa telah terjadi kemunduran total dari sisi kenegarawan. Indonesia telah dibalut krisis moral, dan etika.