Jakarta, Gatra.com - Potensi konflik selama masa pemilihan umum (pemilu) menjadi kekhawatiran berbagai pihak. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menjelaskan beberapa potensi konflik yang mungkin terjadi, terutama dalam masa pemungutan suara.
"Kita tahu momentum Pemilu puncak 14 Februari, dan hawa persaingan akan semakin panas seiring dengan keinginan dari paslon untuk mengungguli paslon lain. Jadi saya kira penting untuk kita semua menjaga situasi," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Pemilu 10 Hari Lagi, Berpacu dalam Damai" yang digelar secara hybrid, Minggu (4/2).
Jelang masa pemungutan suara, situasi selama kampanye akbar perlu diantisipasi. Sebab, tensi persaingan akan semakin tinggi, terlebih memasuki masa tenang.
Sementara, ia menyebut bahwa momen paling rawan terjadinya konflik adalah setelah pemungutan suara. Ketika sudah ada nama yang sudah bisa diklaim sebagai pemenang, situasi bisa berbeda bukan hanya bagi paslon melainkan bagi pendukung juga.
"Kalau sejak awal tidak menyiapkan diri menerima kekalahan, itu juga persoalan. Sulit untuk menerima begitu saja hitungan angka-angka yang muncul di hari pemungutan suara," katanya.
Untuk itu, ia mengingatkan kandidat mulai mempersiapkan diri menerima apapun hasilnya, baik kemenangan ataupun kekalahan. Kesiapan batin itu menjadi penting untuk menentukan respons yang akan ditunjukan ketika misalnya hasil quick count menunjukan hasil yang berbeda dengan harapan.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa proses di MK terkait sengketa hasil nanti bisa berpotensi memicu konflik. Keberadaan massa pendukung yang menggugat hasil di MK harus dilihat dan dicegah untuk bergulir menjadi kerusuhan.
"Tapi saya kira semuanya kembali ke kesiapan mental pada calon. Karena massa umumnya akan memberikan respons yang ditunjukkan paslon. Tema soal perdamain ini penting untuk jadi peringatan dengan segala peekembangan situasi, bahka beberapa waktu setelah pemungutan suara," pungkasnya.