Jakarta, Gatra.com - Indonesia Institute for Social Development (IISD) meminta publik semakin membuka mata sekaligus membangunkan kesadaran pemerintah akan urgensi penguatan regulasi pengendalian konsumsi candu rokok di Indonesia.
"Candu rokok yang oleh amanah undang-undang konsumsinya mesti ditekan, justru diletakkan dalam posisi sedemikian terhormat. Pecandu zat lain direhabilitasi, tapi pecandu rokok justru dirawat, disanjung-sanjung sebagai penyumbang pajak terbesar. Dengan kondisi yang pelik ini, pengendalian konsumsi rokok bukanlah perkara sederhana," ujar Direktur Program IISD Ahmad Fanani.
Hal itu disampaikan Fanani dalam diskusi publik "OUTLOOK Industri Tembakau Indonesia 2024" di Jakarta Selatan, Selasa (30/1).
"Regulasi mengamanahkan agar pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya. Bahkan RPJMN secara spesifik memberikan target prevalensi dan rekomendasi strategi untuk mencapainya, antara lain dengan penguatan regulasi, pembesaran PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar), dan pelarangan total iklan rokok, namun belum terealisasi sampai hari ini," katanya.
Ia mengkritisi bahwa selama ini pemerintah nyaris hanya bertumpu pada kebijakan fiskal, yang dimana menurutnya tak cukup efektif.
"Rokok adalah produk candu, tak mudah bagi perokok untuk berhenti. Memahalkan harga rokok tak cukup, jika iklan terus dibiarkan bertebaran dimana-mana mengobarkan hasrat mereka untuk terus merokok," jelasnya.
IISD memaparkan konsumsi rokok pertahun meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Tahun 2005 total volume produksi rokok berkisar 235 miliar batang. Angka tersebut meningkat menjadi 279,4 miliar batang pada tahun 2011, dan tahun 2022 melonjak menjadi 323,9 miliar batang.
Data juga menunjukkan dalam rentang 5 tahun terakhir produksi tembakau meningkat dari 195,35 ribu ton pada 2018 menjadi 224 ribu ton di tahun 2022, dan kembali naik menjadi 233 ribu ton di tahun 2023.
IISD menegaskan, pengendalian tembakau di Indonesia memerlukan intervensi yang holistik dan komprehensif dari hulu dan hilir, serta memerlukan waktu cukup panjang untuk mewujudkan apa yang diharapkan pegiat pengendalian tembakau di Indonesia.
Sementara, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menilai upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih terbilang lemah.
"Tantangan dalam pengendalian tembakau di Indonesia ini sangat berat, termasuk paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal. Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok itu sebagai sebuah penyakit," ujarnya.
IISD mendesak pemerintah akan perlunya aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana untuk sekian lama pemerintah telah tunduk kepada intervensi industri yang selalu mempertentangkan antara kehidupan petani dan pekerja industri sebagai bumper kepentingan industri.
Reporter: Myla Lestari