Jakarta, Gatra.com - Krisis etika dinilai kian ramai terjadi di dunia politik Indonesia. Apalagi, prosesi Pemilu 2024 yang tengah hadir pun dinilai makin menambah panjang krisis tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Cendekiawan, Hamid Basyaib.
Menurutnya, fenomena krisis etika nampak jelas dalam berbagai peristiwa politik belakangan ini. Yang paling kentara, hadir dalam fenomena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas syarat minimal usia Cawapres, serta Debat Cawapres.
"Hal ini serius, sebab etika itu posisinya diatas hukum. Hukum biasanya derivasi dari etika, bahkan negara seperti Inggris, aturan tidak ada tapi ada etika yang dipahami bersama," ungkap Hamid dalam keterangannya, dikutip Rabu (31/1).
Padahal, jika merefleksikan dari negara maju, terjadinya pelanggaran etika sejatonyamemiliki konsekuensi yang besar. Ia mencontohkan di negara Inggris, ketika ada pejabat publik di Inggris yang dinilai melamggar etika, maka satu negeri akan mengecamnya. Salah satu contohnya adalah dari mundurnya perdana menteri Boris Johnson tahun lalu setelah diterpa sejumlah skandal.
Hal itu memperlihatkan, bahwa etika merupakan hukum yang 'hidup'. Sementara, sambung Hamid, hukum formal belum tentu hidup. Hamid pun mengungkapkan fenomena menarik pasca reformasi. Fenomena itu adalah 'genit hukum'.
"Genit hukum ini adalah situasi ketika orang-orang mudah sekali melaporkan orang lain ke polisi. Tapi sejatinya mereka ini tidak konsisten," ungkap Hamid.
Inkonsistensi itu, ujar Hamid, terutama tampak pada para pejabat yang kerap mengingatkan publik pada asas 'praduga tak bersalah' apabila ada rekannya yang terlibat kasus hukum.
"Orang-orang seperti itu tak paham, bahwa aparat hukum justru bekerja berdasarkan asas praduga bersalah. Mengapa ada tersangka yang bisa ditahan sebelum proses pengadilan, itu khan karena asas praduga bersalah," ujar dia.