Bantul, Gatra.com - Adanya pengurus harian Nahdlatul Ulama (NU) beserta badan otonom (banom) mendukung dan memobilisasi massa pada satu pasangan calon presiden secara terbuka dinilai meresahkan nahdliyin.
Bersamaan peringatan hari lahir (harlah) ke-101 NU yang akan dihadiri Presiden Jokowi di Yogyakarta, Nahdliyin Nusantara menyelenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) untuk menyuarakan netralitas NU dan kembali ke khitah.
“Mubes diselenggarakan Minggu (28/1) di Bantul yang dihadiri kiai senior dan santri. Mubes ini guna mengingatkan PBNU untuk mengambil sikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan yang mandiri serta mencerminkan karakter politik berbasis Aswaja,” kata Koordinator Mubes, TGH. Hasan Bashri Marwah, Sabtu (27/1) sore.
Langkah pengurus NU berpolitik praktis ini menurut Hasan telah melanggar khittah jamiyah yang telah menjadi pandangan hidup nahdliyin. Sejak berdirinya NU, para kiai, ulama, dan pengurus organisasi harus mengambil jarak dengan politik praktis.
“Mubes terakhir kali diselenggarakan 20 tahun lalu, atau tepatnya 2004 saat KH Hasyim Muzadi diusung menjadi capres Megawati. Saat itu NU menetapkan jalan politiknya untuk menginspirasi politik kebangsaan,” paparnya.
Dijadwalkan berlangsung hingga Senin (29/1), mubes ini untuk mengingatkan PBNU mengambil sikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan yang mandiri dan mencerminkan karakter politik berbasis Aswaja.
Rais Aam dan jajaran syuriah PBNU pun diminta menegur dan memberhentikan pengurus yang terlibat langsung dengan politik praktis.
“Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga NU menyalurkan hak-hak politiknya dalam setiap pemilu dan tidak mengarahkan secara vulgar dan murahan agar pengurus NU dari PBNU sampai MWC memilih salah satu paslon,” tegasnya.
Hasan menyebut, netralitas yang disuarakan ini sama sekali tidak ada berhubungan dengan majunya warga NU di ajang pilpres, seperti Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Mahfud MD.
"Ini murni kegelisahan kita melihat pengurus memobilisasi umat untuk satu calon. Sejatinya, meskipun Cak Imin jadi cawapres 200 kali, ini sama sekali tidak berpengaruh ke umat,” katanya.
KH Imam Baehaqi dari Pesantren Sarang, Jawa Tengah, menyebut saat ini pengurus PBNU seperti pembantu pemerintah.
“Pengurus saat ini menjadikan NU kaki tangan pemerintah melalui program-programnya. NU tidak lagi menjadi organisasi civil society, seperti yang dilakukan Gus Dur di mana ulama-ulamanya berpijak pada ahlussunah waljamaah. Nilai-nilai berpijak pada keilmuan, kejujuran, keteladanan, kerahmatan, dan pengayoman,” tegasnya.
Mubes ini menurutnya adalah mengembalikan NU ke jalurnya yaitu dengan mematuhi khittah.
Ketua Panitia Pelaksana Harlah Ke-101 NU Syarif Munawi menerangkan rangkaian acara dimulai dari Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Minggu besok. Ungkapan syukur atas perjalanan NU akan disajikan dalam 101 tumpeng.
Selain halaqah, PBNU akan menyelenggarakan Konferensi Besar (Konbes) NU pada Selasa (30/1) yang akan fokus membahas Peraturan Perkumpulan (Perkum) tentang dasar dan wewenang pembahasan dan penetapan hukum, metode dan proses pengambilan keputusannya.
“Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir dalam prosesi peresmian gedung Kampus Terpadu UNU Yogyakarta di Gamping, Sleman,” jelasnya.